Animasini Animasono

Jitet Koestana

Darminto M SudarmoHumOr,  Maret 1995

ANIMASI Jepang di sono, animasi Indonesia di sini, bertemu dalam belanga, eh, di Galeri Cipta, Taman Ismail Marzuki, Jakarta. "Dalang" dari pertemuan yang unik itu, tiada lain daripada Pusat Kebudayaan Jepang bekerja sama dengan Anima (Asosiasi Animasi Indonesia). Buat apa dua "kutub" itu ditemui-temuin? Panjang ceritanya.
Konon, Jepang yang telah memiliki sejarah animasi dan perkartunan lebih lama, ditunjang sumber daya manusia, etos kerja dan infrastruktur yang oke punya, ditambah lagi kredibilitas politik ekonomi yang sudah di atas angin, ditambah lagi bargaining power yang lebih aduhai, saat ini -- di mata dunia -- memiliki positioning yang jelas lebih mantap. Jadi, kalau animasi Jepang ditemukan dengan animasi kita, pasti, semua paham, siapa yang akan bertanya pada siapa; siapa yang harus memberitahu siapa; siapa yang harus mengajari siapa. Begitu, kan?
Tunggu dulu. Tidak seharfiah itu, faktanya. Ternyata, dua animator Jepang yang dikirim ke Indonesia, Yoji Kuri, 67 tahun, dan Taku Furukawa, 54 tahun, tergolong "mahluk" yang langka. Mereka bukan animator "buas", yang tahunnya cuma cari keuntungan finansial atawa lihai menangguk untung. Atawa juga bagian dari agen industrialisasi. Bukan. Ekstremnya, keduanya adalah animator idealis; yang hanya menghasilkan karya animasi bermutu dan bercorak kesenian. Jadi, nggak ada hubungannya dengan Doraemon atau tokoh kartun komersial lainnya.
Kenyataan ini, jelas eksotik; dan pasti mengagetkan, juga. Terutama, kalau kita lalu membandingkannya dengan animasi kita, baik itu karya PPFN (Perum Produksi Film Negara), Dwi Koendoro, Denny A. Djoenaid, Grup PT Index, Gema Cipta Media Animasindo, Gotot Prakoso, Wagiono dan lain-lain, yang tak seluruhnya berpretensi berkesenian atau tak seluruhnya menghasilkan karya komersial (iklan). Animasi-animasi kita, yang rupanya juga sudah bergerak ke arah semangat komputerisasianisme maupun sebagian yang masih manual-eksprementatif, tiba-tiba lalu terkesan "hingar-bingar" ketika berhadapan dengan karya Kuri dan Furukawa yang tenang, percaya diri dan efisien.
Dalam konteks ini, tentu bukan maksud awak mau mendikotomikan karya sono dan karya sini, bukan. Namun, konsistensi animator Jepang pada eksotisme teknik manual dan mengangkat ide-ide sederhana -- dalam arti bertolak dari realitas sehari-hari -- kok ya, masih ada. Masih percaya diri, bahkan, masih bangga. Ini sangat kontras dengan kesan umum yang muncul dari semangat industrialisasi Jepang yang begitu gegap-gempita. Ketambahan lagi, kalau merujuk biodata penghargaan internasional/nasional yang sudah pernah diperoleh dua animator ini, ternyata juga kagak main-main.
So, itulah. Diskusi dan tukar pikiran pun jalan dengan mulus. Peserta memperoleh masukan dasar pembuatan animasi kartun/gambar dan satu permainan dasar animasi ala Jepang yang disebut "Odorokiban", berisi lingkaran kertas hitam berlobang tiga mili (mirip jeruji pendek) yang di tengahnya ditempelkan gambar animasi melingkar. Ketika lingkaran kertas itu diputar dan kita menonton dari pantulan cermin, akan muncullah efek-efek animasi dari gambar yang kita bikin itu. Sederhana tampaknya, namun ia menjadi peletak dasar pembuatan animasi, di mana pun. Sespektakular apa pun. Apa istilah permainan itu di tempat kita? Sebut saja: bioskop kertas putar, kalau diterima. Kalau nggak, yang mutar sendiri.
Jepang memang punya tradisi berkarya semacam itu. Dari obsesi personal ke lembaga. Dari rumah ke pabrik. Dari studio rumahan, sampai ke studio raksasa. Merujuk tulisan Frederick W. Patten, pustakawan Kalifornia, yang di antaranya menekuni secara "melotot" animasi Jepang, dalam tulisannya Full Circle: Japanese Animation from Early Home Studios to Personal Workshops for Home Video dibahas tuntas peta perjalanan animasi Jepang sejak awal hingga perkembangannya dewasa ini. Sejak mula pergerakan Zenjiro Yamamoto, Kosei Seo, Noburo Ofuji, Wagoro Arai, Kenzo Masaoka, hingga ke era-era berikutnya termasuk era Yoji Kuri, Taku Furukawa dan Osamu Tezuka.
Pada saat demo pemutaran film animasi Yoji Kuri -- terkumpul dalam album The Maniac Age dan Taku Furukawa dengan judul seperti: Sleepy, Beautiful Planet, The Bird, New York Trip dan lain-lainnya, kita disuguhi sesuatu yang menggembirakan: kebebasan ekspresi. (Iya aja,  karena di Jepang tidak ada istilah SARA). Pada karya Yoji Kuri, kebebasan itu tampak jadi agung dan mendalam. Bagaimana ia mengekspresikan "kebuasan" dan keliaran humornya. Sehingga, meski sadistis itu relatif, kelucuan yang kita dapatkan usai menonton episode demi episode karyanya sangat los dan optimal. Tak ada beban. Tak ada kerikuhan. Humor ya humor. Lucu ya lucu! Wilayah yang bebas dari beban dan pretensi.
Apa efek moralnya bagi animator kita? Banyak sekali. Yoji Kuri, bahkan memberi catatan khusus pada saat presentasinya, bahwa sebaiknya, animator Indonesia berpikir untuk membuat karya yang khas dan mempunyai ciri sendiri. Tidak perlu harus ikut arus global. Tidak perlu dengan biaya yang gila-gilaan. Pesan yang menarik. Karena, itu juga pernah dibuktikan, baik oleh Yoji Kuri maupun Taku Furukawa, pada saat keinginan membuat animasi begitu menggebu tapi biaya tidak ada, mereka pun mencari jalan keluar yang indah: menggambar animasi di atas buku tulis. Hasilnya, malah dianggap unik.

deMes

0 Responses to "Animasini Animasono"

Post a Comment