Kartunis Indonesia Menggugat
![]() |
Djoko Susilo |
Darminto M Sudarmo - Dokumen Pribadi/Belum Dipublikasikan, 22 Desember 2009.
Bukti bahwa kartunis Indonesia, khususnya para kartunis lepas, gelisah, sudah terlihat sejak tahun 1980-an. Maka ketika terjadi “Pertemuan Kartunis Nasional” yang bertempat di Balai Wartawan – Semarang, Jawa Tengah (sekarang: Hotel Ciputra-Simpang Lima) pada 1985-an, dengan agenda besar yang diusung: upaya pemberdayaan kartunis terkait dengan posisinya sebagai profesi, mudah ditebak apa yang terjadi kemudian: kartunis Indonesia “menggugat”. Salah satu rekomendasi yang dicuatkan saat itu adalah mengimbau media massa (koran dan majalah) memberikan peluang selayak-layaknya lewat penyediaan rubrik yang di dalamnya memuat gambar kartun sebagai menu rutin media tersebut.
Apakah imbauan dari para kartunis tersebut mendapatkan sambutan dari media cetak yang ada saat itu? Secara langsung, tidak. Namun bila dicermati secara bertahap, ada progresi yang terlihat. Bahkan secara kasar dapat dipersentasekan: media massa yang memuat kartun kurang lebih 70% dan yang tidak memuat sekitar 20%, sedangkan yang 10% kadang memuat kadang tidak.
Paradoks dengan fakta di atas, sepuluh tahun terakhir (sejak reformasi bergulir), tumbuh begitu banyak dan beraneka media cetak. Ada yang sekali terbit selanjutnya tidak ada kabarnya, alias gim. Ada pula yang terbit tiga/enam bulan sekali. Dan yang tak kalah menghebohkan, khususnya media cetak daerah: baru terbit kalau ada pengangkatan pejabat baru. Ibarat kata, media massa di era reformasi, banyak yang berguguran; itu terjadi lantaran tidak disambut baik oleh konsumen; namun tak kurang pula yang dapat bertahan dan tumbuh menjadi media cetak cukup tangguh dan membayangi beberapa media cetak yang tergolong establish. Dan kondisi yang terjadi saat ini bila dihubungkan dengan uraian di atas dapat ditemukan perbandingan penyediaan rubrik kartun/humor di media dimaksud dengan komposisi kuang lebih: 30% media yang konsisten dan sustain menyediakan rubrik kartun; 60%, media yang sama sekali tidak menyediakan rubrik kartun, dan 10% yang kadang memuat/tidak memuat kartun.
Orientasi Baru
Simpul
persoalan sederhana yang dapat kita tarik korelasinya adalah: pada tahun
1980-an saja sudah ada kegelisahan kartunis semacam itu, apalagi pada
tahun-tahun terakhir ini. Kegelisahan itu memang layak muncul terutama bila
dikaitkan dengan posisi kartunis sebagai profesi. Tidak heran, bila kegelisahan
yang semula lebih tertuju pada faktor media (gambar kartun di kertas/grafis)
dan pilihan publikasi (koran atau majalah) namun karena secara obyektif tak
banyak yang dapat diharapkan lagi, kini tumbuh wacana baru, katakanlah semacam
gugatan, bahwa kartunis dalam berekspresi tak seharusnya bergantung pada media
cetak semata. Perlu ada upaya lain dan orientasi baru.
Pilihan
media ekspresi nya pun akhirnya dibentangkan selebar mungkin. Dari animasi,
buku, batik, kanvas (cartoon painting/oil),
keramik, sablon (t-shirt, mug, tas,
dompet dan lain-ain), kartu ucapan, hingga ke alat bantu presentasi (slide show, jpeg, dan lain-lainnya).
Pilihan-pilihan media ini ada yang sebagian lebih cocok ke ranah industri
(produk massal), ada pula (tidak banyak) yang cocok untuk diaktualisasikan
lewat sentuhan personal. Salah satunya adalah penggunaan media kanvas dalam
bentuk lukisan kartun (cartoon
painting/oil). Kalau pilihan ini
bermotifkan “logis’-nya prospek sebagaimana yang terjadi pada seni rupa (seni
lukis), wallahu alam. Istilah lukisan
kartun atau cartoon painting/oil ini sendiri sebenarnya masih sangat
spekulatif. Dalam literatur seni kartun, belum ada yang secara eksplisit
menyebut istilah cartoon painting
atau cartoon oil, dalam konteks
aliran seni kartun atau kredo. Bahkan
satiris Inggris, John Leech (1817-1864), yang di kemudian hari karya-karyanya
banyak digolongkan pengamat sebagai
bercorak kartunal/karikatural, mulanya lebih dikenal sebagai karikaturis
(pelukis wajah yang berisi sindiran) dan ilustrator. Salah satu karya
karikaturnya yang sangat popular berjudul
Substance and Shadow dimuat
pada 1843, di Majalah Punch, majalah humor terkemuka pada zamannya yang terbit
di Inggris. Sebagai illustrator, karya Leech juga menghiasi buku Charles
Dickens; salah satu di antaranya A Christmas Carol.
Masih
di tahun 1843, pelukis Inggris John Callcott Horsley (29 Januari 1817-18
Oktober 1903) dikenal pula sebagai pencipta Kartu Natal pertama di dunia yang
ilustrasi kartunya mengundang kontroversi karena menggambarkan anak kecil
sedang meminum anggur, lewat karyanya yang berjudul St Augustine Preaching memenangi sayembara Westminster Hall. Karya
lukisnya ini disebut orang sebagai karya kartun. Itu terjadi lantaran muatan
sindiriannya yang sangat kuat. Setahun kemudian Horsley terpilih sebagai salah
satu dari enam pelukis yang ditugaskan untuk membuat lukisan dinding di Gedung
Parlemen Inggris. Ada pertanyaan yang muncul, mengapa (bahkan) para pelukis pun
berkecenderungan untuk menyindir atau mengkritik setiap berurusan dengan
Parlemen Inggris ketika itu? Jangan-jangan jawabannya performance Parlemen Inggris ketika itu tak jauh berbeda dengan
parlemen kita di zaman Orde Baru atau sepuluh tahun terakhir ini?
Interval Budaya
Satu
hal yang menarik untuk disimak, berkaitan dengan semangat kartunis Indonesia
yang juga mau melukis selain mengartun rutin di media massa (cetak) sepertinya
secara sadar atau tidak sadar mereka sedang berupaya “back to basic”. Bagaimana
tidak? Sebelum seni gambar/grafis lucu yang bernama kartun ditemukan atau
disepakati termoniloginya, sebenarnya sebagian pelukis Eropa khususnya, telah
melakukannya. Mereka melukis (tentu dengan media dan alat lukis sebagaimana
yang kita pahami saat ini) baik wajah seseorang (dikenal masyarakat luas) atau
peristiwa tertentu yang menjadi pusat perhatian masyarakat luas, dengan
menyelipkan sindiran atau kritik di dalamnya. Apakah itu artinya para kartunis
Indonesia akan melakukan re-aktualisasi warisan “seni” terdahulu karena
“gawat”-nya media cetak yang mulai terancam eksistensinya atau ada strategi
lain yang diam-diam telah mereka siapkan?
Namun
bila dicermati lebih arif, sebenarnya “gerakan” yang bertumpu pada titik
gelisah para kartunis Indonesia itu lebih tampak sebagai interval budaya yang
penuh tantangan baru. Berubahnya disiplin dari pensil, pena/tinta, cat air dan
kertas menuju kanvas, kuas, cat minyak/akrilik adalah revolusi media dan bahan;
khususnya bagi yang baru pertama kali memulainya. Oleh karena itu, pilihan yang
cukup ekstrem ini bukannya tanpa risiko. Pertanyaannya, benarkah ada kartunis
yang belum gaul sama sekali pada media dan bahan seni lukis? Bukankah tak
kurang pula pelukis Indonesia yang juga cukup mahir bekerja dan berpikir bak
seorang kartunis? Lihat saja lukisan-lukisan karya Heri Dono, Eddie Hara,
Erica, dan I Nyoman Masriadi, sekadar menyebut nama. Bukankah karya-karya
mereka juga cukup mengandung “ruh” kartun atau setidaknya bernuansa kritik dan
sedikit berbumbu humor.
Sekali
layar terkembang, pantang untuk surut kembali. Begitu setidaknya semangat yang
merayapi sejumlah kartunis Indonesia yang konon akan menampilkan “gugatan”-nya
pada Pameran Lukisan Kartun di Yogyakarta tahun 2010; kapan persisnya kita
tunggu saja seperti apa wujud gugatan mereka.
0 Responses to "Kartunis Indonesia Menggugat"
Post a Comment