Kartun tentang Kartunis

Jbosco-Azevedo

Dari Diskusi Panel  “Kartun dan Komunikasi Pembangunan” di Undip

Darminto M Sudarmo, WAWASAN, 2 Oktober 1986.

IDE untuk mengumpulkan para kartunis seluruh Indonesia di suatu tempat untuk kemudian beromong-omong, bermula dari kasak-kusuk dan keisengan belaka. Tak terduga setelah timbul kesepakatan dari sementara kartunis yang ada di Semarang, gagasan yang sesungguhnya bakal banyak memakan dana dan energi itu terselenggara cukup mulus.
Mungkin banyak yang tak tahu, bahwa upaya yang telah dicurahkan oleh penyelenggara dan proses perjalanan realisasinya penuh dengan jalan berliku dan terjal. Dari soal perizinan, dana dan sebagainya, total saling belit-membelit.
Sehingga tak aneh bila rencana penyelenggaraan mengalami berkali-kali pengunduran. Diperkirakan banyak peserta yang putus asa, sehingga meskipun mereka secara resmi telah mendaftarkan diri, pada hari “H”-nya mereka tak kelihatan hadir.
Kendati demikian, secara keseluruhan, peristiwa yang sesungguhnya bukan cuma “hura-hura” ini berlangsung dengan baik. Bahkan telah menelorkan serentetan rumusan sementara yang bisa dijadikan titik tolak bagi para peserta. Rumusan tersebut memang sengaja digumpal-gumpalkan sebagai penjabaran dari berbagai aspek yang selama ini dianggap masih samar posisinya.
Persoalan etik dan estetika ramai dipergunjingkan. Bahkan topik yang dipesankan penyelenggara sempat berkembang ketika dilempar ke khalayak peserta karena kecerdikan para pembicaranya.
Akhirnya terpanalah kita. Ternyata banyak hal yang harus dikaji oleh para kartunis, redaktur kartun dan para pengamat humor umumnya, jika mereka menghendaki kartun bisa hadir dan memperoleh penghargaan yang semestinya sebagaimana karya cipta seni yang lain.

Temu Kartunis Nasional
Mengapa temu kartunis nasional harus diadakan? Banyak alasannya.
Pertama, bersumber dari keresahan sementara kartunis yang risau melihat perkembangan diri mereka sendiri cenderung jalan di tempat. Mereka beranggapan bahwa mengartun ya cuma mencoret-coret gambar lucu atau yang dianggap lucu, dengan tema-tema yang juga itu-itu saja; padahal kartun, baik kemunculannya sebagai editorial cartoon atau karikatur, yang harus melucu sambil membawa gunjingan-gunjingan peristiwa aktual, topikal dan factual; maupun yang berlucu-lucu dengan topik kemanusiaan yang universal, tetap harus memperhatikan sisi teknis (drawing) memadai dan sisi ide yang selalu segar dan baru. Aspek-aspek di atas bila digarap dengan baik, tidak mustahil bila nantinya kartun akan memperoleh penghargaan yang sepadan.
Kedua, perlu ada gerakan pola pikir baru; dari latah dan meniru-niru menjadi sesuatu yang baru. “Siapa lagi yang bakal memperjuangkan kartun, kalau bukan para kartunisnya sendiri?” ujar Arswendo Atmowiloto, sebagai salah seorang pembicara, yang kemudian disambut hangat peserta.
Ketiga, kartun sebagai karya grafis memang paling pas bila menggunakan media ekspresi: koran, tabloid atau majalah, supaya dapat menjangkau pembaca seluas-luasnya; meskipun demikian, itu bukan berarti kartunis tak melihat berkembangnya peluang di media lain selain media cetak. Dalam kasus ini, sorotan banyak diarahkan pada peran para redaktur penyeleksi kartun di meda cetak tersebut. Ada yang dianggap terlalu subyektif (memberlakukan pertimbangan koncoisme); kurang melihat fenomena arus edar kartun di luar medianya sendiri (banyak kartun yang memiliki kesamaan ide atau pengulangan ide), sehingga ide-ide yang muncul cenderung sudah basi; dan lain-lain tuduhan yang sebenarnya merupakan akumulasi dari kegemasan para kartunis pada redaktur atau “penjaga gawang” yang kurang memiliki selera memadai.
Kegarangan para kartunis itu kemudian ditanggapi para redaktur kartun dengan bijak. Sedikitnya ada tiga orang redaktur yang menyediakan diri berdialog dengan para kartunis. Mereka adalah: Pramono, GM Sudarta dan Harso Widodo.
Mengapa redaktur mengambil keputusan untuk memuat atau menolak kartun A atau B, karena ia merujuk pada kriteria penerbitan bersangkutan atau setidaknya kriteria yang dibuat sendiri oleh sang redaktur.
Menurut Pramono, kartun yang baik adalah tipe kartun yang disenangi oleh pembaca dari berbagai latar belakang pendidikan, suku, status sosial, dan sebagainya. Misinya sampai, meskipun sekadar melucu. Hampir senada, GM Sudarta menjawab bahwa kartun yang baik adalah kartun yang lucu dan bagus.
Pengertian bagus tentu saja ada norma-normanya. Sementara Harso Widodo (dahulu redaktur humor di Mutiara), berpendapat, kartun yang baik adalah kartun yang universal dan mampu menggelitik redaksi. Ini pun tidak harus disalahkan, karena subyektivitas (yang normatif) akan menghasilkan suatu media yang berciri khas pula.
Keempat, timbulnya kecenderungan jiplak-menjiplak ide dari kartunis satu ke kartunis lain; adalah bagian dari etika yang perlu dirumuskan supaya “hutan” kartun tidak tumbuh secara liar dan semrawut.
Arswendo Atmowiloto yang bertugas membahas sekitar kartun dan hak cipta, mengatakan, bahwa hak cipta tentang kartun tak terdapat dalam undang-undang hak cipta. Ini memang aneh, karena ilustrasi, gambar-gambar peta bumi dan sebagainya sudah masuk dan disebutkan secara jelas. Mungkin karena apresiasi para cerdik pandai belum sampai pada bidang kartun, karikatur, maupun yang sejenisnya.
Kendati demikian, bila merujuk Undang-undang Republik Indonesia nomor 6 tahun 1982, kartun dengan sendirinya mempunyai hak cipta; sebab semangat dan isinya terkandung dalam cabang kesenian yang bisa dilipatgandakan, bisa dinikmati dan dilihat orang lain (pasal 1). Lebih khusus lagi, kartun termasuk dalam “segala bentuk seni rupa” (pasal 11).
Dengan demikian, sebenarnya kartun bisa diwariskan, dihibahkan, diwasiatkan, dan dijadikan milik negara (pasal 3). Akan tetapi pertanyaan yang lebih pokok dari itu ialah, apakah bentuk kooperasionalnya memungkinkan bagi para kartunis?
Kelima dan seterusnya, adalah persoalan pendokumentasian kartun. Ini supaya terhindar dari kepunahan. Karya kartun, baik yang lolos sensor atau yang tidak lolos sensor redaksi, perlu didokumentasi dengan sebaik-baiknya; karena dalam perkembangannya kemudian, materi tersebut akan menjadi sangat penting; baik untuk kepentingan “sejarah” masing-masing kartunis maupun untuk kepentingan penelitian sosiohistoris tentang kartun dan kartunisnya pada suatu ketika di waktu tertentu di masa lalu. Salah satu upaya penyelamatan karya adalah dengan menerbitkan kartun atau karikatur dalam bentuk buku; seperti yang pernah dilakukan oleh GM Sudarta dan Pramono.
Hal lain, tentang pemasaran kartun; mungkinkah kartun dapat dipasarkan tidak hanya bergantung pada satu media cetak saja? Misalnya pemasarannya dikelola oleh badan atau institusi semacam Syndicate; yang kemudian dapat menjual ke lebih banyak media di berbagai tempat/negara, sehingga dari hasil karyanya tersebut, kartunis dapat memperoleh pendapatan lebih dari sekadar sepotong wesel, bila itu termuat di satu media saja?
Sebenarnya, untuk memasarkan kartun di luar media massa cetak dapat ditempuh ke penerbitan buku kartun, film animasi, atau ke perusahaan periklanan yang banyak menggunakan jasa kartunis untuk visualisasi produk-produk merchandising koleganya, seperti:  peralatan rumah tangga, T-shirt, barang pecah belah dan sebagainya. Di masa mendatang, baik syndication maupun cita-cita semacam di atas bukan mustahil terjadi.
Dalam jangka pendek ini, upaya pertama-tama yang bisa dilakukan adalah menghimbau sehormat-hormatnya pada para pemilik media massa agar mau sedikit berbaik hati membuka secara proporsional rubrik humor/kartun, tempat para kartunis Indonesia berkarya dan berkreasi.

Titik Tolak Komitmen
Temu Kartunis Nasional “85 lalu, yang telah menelan waktu selama dua hari dua malam itu boleh dikatakan cukup sukses. Diikuti tak kurang dari 125 peserta dari berbagai penjuru nusantara. Menampilkan tak kurang dari tujuh orang pembicara baik dari kalangan pengamat, kartunis, maupun redaktur humor.
Mereka, yaitu: GM Sudarta (Kartunis Kompas), Pramono (Kartunis Sinar Harapan), Arswendo Atmowiloto (pengamat), Drs. Herry Wibowo (Dosen STSRI), dan panelis redaktur yang terdiri atas: Harsono Widodo (d/h Mutiara), Singgih Budiyono (Sarinah), dan Hanafi (Minggu Ini – Suara Merdeka).
Acara berlangsung di Balai Wartawan, Kompleks GOR Semarang, 20-21 September 1985 lalu. Sementara penyelenggara yang berdiri di belakang acara tersebut adalah kelompok kartunis yang terhimpun dalam Pertamor (Perhimpunan Pencinta Humor), Secac (Semarang Cartoon Club), Kokkang (Kelompok Kartunis Kaliwungu), Wak Semar (Wadah Kartunis Semarang), dan Pokal (Padepokan Kartunis Tegal).
Setelah melewati serangkaian diskusi dan dialog yang gayeng dan khas (sebagaimana laiknya bila orang-orang suka humor berkumpul), maka tim perumus Temu Kartunis Nasional “85 telah sepakat menelurkan ancar-ancar yang dimaksudkan sebagai landasan beretika dan berestetika, serta titik tolak komitmen para kartunis guna menyongsong prespek-prospeknya di masa mendatang:
.
  1. Proses penikmatan/pemahaman akan sebuah karya kartun, membutuhkan kecerdasan seseorang penikmat, apalagi dalam proses penciptaan karya kartun. Untuk ini para kartunis perlu melakukan introspeksi, terutama yang menyangkut masalah penyusunan kode etik perkartunan, serta upaya peningkatan pemahaman akan aspek-aspek yang berkaitan dengan kartun.
  2. Peningkatan pemahaman akan aspek-aspek yang berkaitan dengan kartun, mencakup pemahaman akan kondisi sosial budaya, humor, persepsi kualifikasi dan aktualitas pokok-pokok permasalahan.
  3. Perlunya proses integralisasi pendayagunaan kartun dengan kepentingan media massa, di mana tercakup di dalamnya permasalahan-permasalahan dan pertimbangan-pertimbangan yang bersifat teknis, strategis, serta komoditif.
  4. Dari penyelenggaraan Temu Kartunis Nasional “85, terasa ada kecenderungan kuat dari para kartunis untuk menghimbau berbagai media massa guna membuka kesempatan yang seluas-luasnya bagi kehidupan kartun. Meski selama ini oleh beberapa redaktur kartun dari berbagai media massa mengungkapkan prospek yang cerah dari kehidupan kartun.
  5. Perlunya komunikasi dan kondisi antar kartunis dengan berbagai upaya penerbitan buletin, brosur, majalah dan lain-lain. Barangkali perlu juga diciptakan suatu strategi pemasaran kartun bersama melalui wadah “syndicate” dan lain-lain.
  6. Dari Temu Kartunis Nasional “85 di Semarang yang pertama kali ini timbul inisiatif bersama dari para kartunis, untuk mentradisikan Temu Kartunis Nasional dan Pameran Kartun Nasional setiap setahun sekali dan diselenggarakan di berbagai kota di seluruh kawasan nusantara secara bergantian menurut mufakat bersama.
Persoalan yang perlu menjadi pertimbangan adalah masalah target pertemuan. Sebab setahun sekali bukan waktu yang lama untuk menunggu munculnya isu-isu baru yang lebih segar dan berbobot. Kendati demikian, para kartunis berharap bisa lebih membuktikan komitmen itu dengan karya-karya optimalnya yang mampu membawa guna bagi masyarakat dan bangsa.
Bulan September adalah saat jatuh hari “H” Temu Kartunis Nasional kedua. Namun demikian kenyataan yang terjadi justru suasana yang sepi. Surabaya pernah menyanggupi untuk jadi tuan rumah, tetapi merealisasi gagasan itu ternyata bukan hal  yang gampang.
Karena itu sungguh menjadi obat kegersangan realisasi dan inovasi bila di Semarang, tahun ini, berlangsung Dialog Kartun di UNDIP (Universitas Diponegoro), dengan menampilkan pembicara Dwi Koendoro dan Jaya Suprana.

deMes

0 Responses to "Kartun tentang Kartunis"

Post a Comment