Kartunis Perlu Melirik Pasar Ekspor

Rupert Murdoch by Thalhah

Darminto M Sudarmo – Tabloid PELUANG, 1999

KRISIS ekonomi dan situasi menggantung yang berkepanjangan, ternyata juga mengimbas ke sejumlah besar kartunis Indonesia. Mereka yang selama ini banyak menggantungkan “penghasilan” lewat koran dan majalah, sebagai penyumbang/kontributor lepas, kini tak dapat berbuat banyak untuk dapat menolong dirinya sendiri. Berbagai penerbitan besar, tak terkecuali Kompas (bahkan) telah lama menutup rubrik untuk para kartunis lepas. Ironisnya pula, banjirnya tabloid dan media yang baru, nyaris tak menyediakan rubrik atau ruang tempat para kartunis lepas berkiprah; ada apa sebenarnya?
Bagi para kartunis lepas, pertanyaan ini jelas sulit dijawab, karena mereka tak banyak mengetahui problem tiap-tiap media dalam era krisis ekonomi yang cukup serius ini. Semangat para pengelola media baru tampaknya sedang terpusat pada masalah-masalah yang lebih langsung dan terukur; misalnya, politik, ekonomi dan tendensi-tendensi praktis lain. Beberapa media, bahkan merasa tak harus memiliki seorang karikaturis, karena dalam situasi yang agak “darurat” seperti sekarang, kehadiran karikatur atau gambar kartun opini semacam itu bisa dikatakan perlu atau tidak perlu.
Sementara itu beberapa media yang lain, cukup memesan ke beberapa kartunis yang sudah memiliki jam terbang teruji untuk membuat karikatur dengan tema menurut selera tiap media. Tak perlu para kartikaturis itu terlibat secara organik ke dalam media bersangkutan. Akhirnya, muncullah karikaturis yang hadir di berbagai media dengan berbagai inisial atau nama.
Perkembangan ini sebenarnya, sehat-sehat saja, selama komitmen pada eksklusivitas tiap media pemesan tetap terjaga; buktinya, Lurie, karikaturis Amerika Serikat itu melayani pesanan gambar karikatur dari media hampir di seluruh penjuru dunia secara berbeda-beda topik dan tema; toh mekanismenya berlangsung secara baik dan lancar-lancar saja. Bedanya, kalau karikaturis kita “diborong” secara perorangan, dari menggagas ide, menggambar hingga mengantar ke media, di beberapa karikaturis luar sudah terorganisasikan dalam tim. Ada staf yang bertugas menggagas ide, membantu menggambar hingga menangani masalah-masalah teknis.

PADA mulanya timbul pesimisme di antara para kartunis lepas kita, bahwa dihapuskannya rubrik-rubrik kartun di media massa karena secara esensial, kartun lepas (gag cartoon)  semacam itu sudah tidak menarik lagi; ternyata kekhawatiran ini tidak selalu benar. Dari beberapa sumber yang dapat dihimpun, disimpulkan, bahwa itu terjadi lantaran beberapa media perlu melakukan pengetatan pengeluaran yang cukup tajam; termasuk pengeluaran untuk honorarium para penyumbang naskah lepas; bukan hanya para kartunis, para penulis, juga. Harga kertas yang pernah membuat pingsan para penerbit, situasi eksternal (krisis ekonomi, rupiah menyusut), hingga perolehan dari iklan yang makin sulit, adalah persoalan-persoalan obyektif yang sulit dielakkan oleh para pengelola media massa secara umum.
Namun, setelah menyimak tulisan Agus Dermawan T di Kompas, 3 Januari 1999 dengan judul Catatan Seni Rupa Indonesia 1998, Karikatur: “Rruaarr” Biasa! suasana jadi melegakan, meskipun agak mencemaskan. Melegakan karena ternyata masih ada juga para kartunis yang masih diberi kesempatan berpartisipasi di media massa, meskipun jumlah mereka relatif kecil. Mencemaskannya, persoalan “keberanian” atau lebih tepatnya “kenekatan” kartunis yang sering dipertanyakan oleh para pengamat kartun di rezim Orba, seolah-olah para kartunis itu mengemban amanat penderitaana rakyat yang lebih besar dari DPR, partai politik, pers dan lain-lain. Sehingga secara bercanda, para kartunis sering berkomentar di belakang panggung, “Ah, kayak nggak tahu situasi saja.”
Sementara itu, “keberanian” atau “kenekatan” para kartunis lewat karikaturnya di berbagai media, terkesan menyentak kesadaran kita semua. Tapi sebenarnya ini juga berlebihan. Bukankah itu wajar-wajar saja? Apa hebatnya keberanian dan kenekatan pada zaman reformasi ini? Mudah-mudahan para kartunis tidak keliru menilai diri dan para mahasiswa tidak bercanda di belakang panggung sambil berbisik, “Ah, kayak nggak tahu situasi saja.”

KEMBALI ke persoalan awal, bagaimana para kartunis lepas menyiasati situasi yang cukup membingungkan ini? Ada banyak alternatif yang bisa ditempuh; pertama, menjajakan karya kartun (untuk kartu Natal, Tahun Baru, Lebaran maupun Ulang Tahun) secara kaki lima di berbagai lokasi strategis: mal, pusat-pusat keramaian dan lain-lain.
Kedua, melakukan kontak dengan beberapa penerbit (majalah) kartun ASEAN, misalnya Malaysia; mereka cukup banyak memerlukan kontribusi kartun lucu non-politik yang miniteks (kartun bisu) dengan tema-tema universal. Ketiga, menghubungi beberapa penerbit buku bacaan di kota-kota besar di Indonesia yang pola komunikasinya memerlukan banyak gambar; saat ini Program Pustaka, Yayasan Adikarya IKAPI bekerja sama dengan Ford Foundation sedang giat membantu biaya produksi  (hingga 80%) para penerbit buku berbadan hukum dalam bidang ilmu sosial dan humaniora.
Keempat, ini pilihan paling menantang dan mendebarkan; yakni menjadi peserta lomba kartun internasional secara kontinyu. Dalam satu tahun, terdapat puluhan penyelenggara lomba kartun  yang diselenggarakan oleh berbagai negara dan menjanjikan hadiah cukup menggiurkan dan terdiri dari banyak kategori.
Di Jepang, paling tidak ada The Yomiuri International Cartoon Contest, Kyoto International Cartoon Congress, Okhotsk International Cartoon and Comic Exhibition dan International Cartoonfestival Mangafesta. Di Korea (Taejon Int’l Cartoon Contest dan Seoul International Cartoon Festival), Taiwan (Courage World Cartoon Contest), Meksiko, Australia, Inggris (NewStatesman International Cartoon Competition), Perancis (Festival International du Dessin Humorstique), Belanda (Dutch Cartoonfestival),  Turki (Hurriyet International Cartoon Competition), Romania (Humorror Cartoon Contest Regulations, lomba kartun horor-DMS), Belgia (International Cartoonfestival Knokke-Heist), Italia, Iran (Tehran Cartoon Biennial), Ukraina, Bulgaria, dan masih banyak lainnya.
Salah seorang kartunis yang masih konsisten memilih alternatif ini adalah Jitet Koestana; ia telah memenangkan puluhan penghargaan, yang berarti memperoleh hadiah jutaan rupiah setiap kemenangannya, dari berbagai lomba tersebut.
Kelima, mencoba menjual karya kartun yang dianggap bagus ke berbagai sindikasi kartun di Amerika Serikat, Jepang atau Inggris. Sampai saat ini saya belum memperoleh data ada kartunis Indonesia yang bisa menembus pasar sindikasi internasional. Kalau Anda yang pertama, bukankah itu luar biasa?

deMes

0 Responses to "Kartunis Perlu Melirik Pasar Ekspor"

Post a Comment