Dari Pameran Kartun Jateng di TIM Jakarta

Jitet Koestana

Ada Ketakutan untuk Jujur pada Diri Sendiri

Darminto M Sudarmo - WAWASAN, Sabtu, 15 November 1986.

DUA puluh satu kartunis Jateng berpameran di Taman Ismail Marzuki Jakarta. Ini bukan berita kecap atau melebih-lebihkan sesuatu, karena kenyataannya mereka tak punya niat untuk sejauh itu. Yang lebih penting dicatat, sepak terjang mereka sebagai “duta” Jateng, tak bikin malu. Bahkan peristiwa yang langka itu punya dampak lain yang sangat di luar dugaan.
Ami Priyono, sebagai ketua DKJ (Dewan Pekerja Harian), menantang dalam akhir sambutan tertulisnya. Adakah nyali, punyakah misi, sanggupkah menampilan kritik, mampukah mengajak kita tertawa, yang kesemuanya harus luluh dalam estetika?

Nafsu Besar Tenaga Kurang
Manusia yang membuat kartun dan manusia pula yang menikmatinya. Manusia dengan segala persoalannya, itulah yang disentuh dan ditawarkan dalam pameran tersebut.
Upaya itu tampak digarap dengan seluruh perangkat yang dimiliki oleh para kartunis Jateng (berjumlah tak kurang dari 21 orang). Lalu, bagaimana mereka menyentuh persoalan-persoalan itu? Bagaimana mereka mengolah, meramu dan mengaduk-aduk tema itu dalam pola dan gaya humor yang estetik?
Beban itu memang tidak ringan. Tugas seorang kartunis tak cuma cukup puas dengan kemajuan teknis (drawing), dia juga harus oke dengan ide-ide baru dan estetika yang memadai.
Topik yang mereka sentuh, sebenarnya berupaya untuk menjangkau permasalahan yang luas dan lengkap; tapi untuk mencapai ke sana, ternyata tidak semudah orang membalik telapan tangan. Semangat mereka yang menggebu, tak selalu berbanding lurus dengan realisasi yang bisa mereka ungkapkan. Nafsu besar tenaga kurang. Tapi secara keseluruhan, performance karya mereka tak mengecewakan. Itu yang menarik.
Apa boleh buat, memang tidak terlalu lancang bila ditarik semacam kalimat kunci yang bunyinya begini: Kartunis-kartunius Jateng yang berpameran di TIM, banyak yang larut dan berlena-lena dalam estetika atau teknik, sehingga kelupaan menyodorkan  bobot isinya; idenya. Karya-karya itu banyak yang berkesan molek dan apik (sebagai barang pajangan), tetapi untuk mencapai refleksi perilaku manusia, yang kocak, bodoh, ngawur, sok tahu, mau menang sendiri dan sebagainya; belumlah ya.
Refleksi perilaku manusia itu kan kayak yang terungkap dalam tanda-tanda zaman; seperti misalnya kesimpangsiuran, kelucuan, kemenoran dan berbagai peristiwa yang sebenarnya mengundang gelak tapi dicoba dimunculkan agar berkesan anggun dan agung. Artifisialisme yang benar-benar nekad.
Ada memang, satu dua tiga karya yang mampu baraksi rada-rada “serius” dengan melakukan penggalian ide, perenungan dan proses pengolahan yang juga serius. Evolusi Moral, karya Yehana SR, yang hampir saja tak bisa dimunculkan karena terjadinya kesalahpahaman persepsi penyelenggara, sebenarnya merupakan salah satu karya yang punya gaung dan kemungkinan menembus perspektif luas tentang refleksi perilaku manusia, pada umumnya. Meskipun di kemudian hari, karya itu ada kemiripan ide dengan Steve Greenberg, Los Angeles, Amerika Serikat dan telah dimuat di salah satu harian terkemuka di negeri tersebut. Menurut pengakuan si kartunis, ia tak pernah tahu siapa itu Steve Greenberg; apalagi koran yang memuat karikaturnya.
Goen menampilkan kartun yang tak mengecewakan. Sambil menonjok secara halus kondisi kehidupan pers, ia menggambarkan Pers bagai lampu senter yang terambil battery-nya. Setidaknya itu menandai salah satu fakta yang tengah hangat jadi pembicaraan masyarakat. Dan battery itu bertuliskan SIUPP.
Ada pula ironi yang menggelikan tapi juga sekaligus menrenyuhkan. Kartun karya Tambeh Gombong ini, mengesankan warna tipikal Jawa Tengah. Tentang seorang guru yang berdiri di depan kelas. Memegang program satuan pelajaran, berseragam secara tumpuk-tumpuk -- lurik, salah satu calon kontestan Pemilu yang akan datang, PGRI, maupun jenis-jenis seragam lain yang gencar diinstruksikan -- plus celana dan ikat pinggang yang kedodoran, kerepotan.
Begitu pula Pamudji MS, sempat “merekam” dan sekaligus melempar semacam opini (alternatif) yang digambarkan lewat pesawat terbang milik Indonesia yang baru saja tinggal landas. Salah seorang mengingatkan kapten (pilot) agar tidak terburu-buru karena masih banyak rakyat yang tertinggal di bawah. Tetapi ironisnya sang pilot dengan tenang mengatakan, lain kali saja.
Ulah kartun Moel (Sri Muliono) juga tak kalah nakal. Kartunnya bicara tentang petugas statistik yang memantau maju-mundurnya dunia olahraga Indonesia, lewat grafik. Tampak arah grafik nyaris menaik, tetapi tanpa diduga tiba-tiba melenting sebuah bola yang entah dari mana datangnya nyelonong secara misterius menghantam kepala sang pengurus. Sang pengurus terguling, tangan yang masih memegang alat tulis, tak sengaja mencoret board statistik itu, lalu membentuk garis grafik yang menurun secara fantastis.
Begitulah, sebenarnya cukup banyak ide-ide yang tampil “menyengat” dan bikin kita tergelak sambil berpikir atau juga tersenyum getir. Hingga seorang ajaib seperti Jaya Suprana, menampilkan ide-ide “gemblung”-nya, sambil promosi. Suatu strategi yang sah dan bisa diterima. Cara orang ini berkiat memang luar biasa lincah dan “licin”. Hingga dalam ajang unjuk kreasi pun tak lupa “promosi” sumber penghidupan dan daya hidupnya; kesemuanya menyatu dalam ide dan terasa wajar.

Nilai-nilai di Balik Kartun
Ada nilai apa sebenarnya di balik karya kartun? Ciri yang menonjol dari karya kartun adalah selalu mengumpan rasa lucu; maka dengan leluconnya itulah ia dapat bermain-main dengan tema dan bahkan, nilai. Ia bisa mengejek, menghajar, menertawai, menghibur, menanggapi sesuatu peristiwa, mengirim isyarat-isyarat bahaya, mengacau logika, dan bahkan mengajak orang berpikir hingga jidatnya mengeluarkan asap karena kepanasan.
Di balik ulah yang ugal-ugalan dan kadang vandal semacam itu, kartun selalu menyelinapkan pesan atau “nilai” apakah itu tentang harapan, persahabatan, toleransi, kesederhanaan, kejujuran, ketulusan maupun keselarasan terhadap lingkungan dan sesama.
Ulah kartun selalu memandang segala sesuatu dari sudut mata nakal. Melirik genit atau melihat dari sudut mata terpicing. Visualisasinya dilakukan secara komunikatif dan kena;  kadang juga lewat pengolahan lambang atau metafor yang menggelitik.
Kartun yang optimistik tak akan merintih atau meratap-ratap bila kelaparan, tetapi akan terus dengan semangat tinggi mengencangkan ikat di pinggangnya; kendati sampai putus perutnya. Ia juga memperlihatkan semangat dan harapan yang tak pernah pudar. Contohnya ketika terjadi bencana banjir, sejumlah penduduk yang nongkrong di atas atap rumah justru tampak tertawa ramah ketika melihat pejabat lewat dengan helikopter sambil mengucapkan undangan yang sopan, “Bapak-bapak, silakan mampir, Pak. Maaf, rumahnya lagi berantakan, nih.”
Kartun demikian juga akan lebih menitikberatkan sisi komis (komedis) ketika berurusan dengan kegetiran dan kemalangan. Optimistik tersebut menjadi semacam pola cara memandang dan meresapi kehidupan. Yang konon kita begitu sulit membedakan di mana sebenarnya batas antara tragedi dan komedi. Suatu pilihan yang kadang bisa mengantar manusia menjadi sia-sia atau berguna. Atau, tidak dua-duanya.

Potret Asli atawa Ironi
Potret asli sama dengan ironi? Kurang lebih, ya!
Potret asli juga bagian dari refleksi kejujuran. Dan kejujuran menjadi sangat mahal. Karena untuk bisa mencapainya, jelas tidaklah mudah; karena, bila terlalu banyak dosa, terlalu banyak korupsi, terlalu banyak serakah, terlalu banyak anu dan anu,  sedikit yang sanggup dan punya keberanian untuk menampilkan diri sesuai potret aslinya. Fakta yang kemudian terjadi, orang pasti akan melihat sesuatu yang lebih “indah” dari warna aslinya.
Mungkin bukan sesuatu yang berlebihan bila kita lalu tersenyum kecut atau tergelak secara kesatria, saat kita melihat potret asli (cermin) dari wajah kita sendiri. Mulus atau kompleks penuh kemunafikan? Arif atau arogan seperti induk ayam yang baru saja menetaskan telur-telurnya.
Kenyataannya lagi, orang senang juga mencoba-coba melihat wajah aslinya. Melihat (setidaknya) kenyataan yang sesungguhnya dari wajah diri masing-masing. Ada yang gemar menyembunyikan kekurangan, ada juga yang suka menonjol-nonjolkan kelebihan. Semua itu adalah bagian dari lelucon sekitar potret asli manusia pada umumnya.
Kartun, lewat misinya berkeinginan mencapai suatu target. Sedikitnya dapat  merangsang penikmat agar lebih jeli melihat segala fenomena yang kurang beres; yang amburadul atau yang sontoloyo di sekitarnya. Fenomena itu tidak hanya menyangkut rakyat biasa, tetapi juga para birokrat dan terutama, penguasa. Menurut pepatah “Jawa” kekuasaan itu cenderung untuk nakal dan binal. Oleh karena itu, mata dan segala kewaskitaan koreksi, harus diarahkan ke sana!
Mengapa kartun berkeinginan mencapai ke sana? Alasannya jelas; supaya sebanyak mungkin bangsa kita “ketularan” wabah optimisme dan pencerahan batin. Itu berarti sekaligus dapat mengurangi segala beban dan berbagai bentuk tindasan hidup. Mungkin itu yang seringkali kita lupakan, karena kita beranggapan toh psikiater atau psikolog sudah ada.


deMes

0 Responses to "Dari Pameran Kartun Jateng di TIM Jakarta"

Post a Comment