Majalah HumOr Kini Sudah Edisi ke-6

Edisi ke-4

Bulan Juni 2012, Majalah HumOr sudah hadir hingga edisi ke-6. Cukup menggembirakan, dalam durasi tayang kurang lebih sekitar 5 1/5 bulan kunjungan tamu tercatat sedikitnya 22.000 sekian. Terbit sebulan sekali. Untuk ukuran blog yang belum berdomain profesional, tergolong lumayan. Mengapa? Karena belum pakai SEO, tanpa backlink-backlink-an, tanpa koneksi feeburner, bahkan hanya mengandalkan tag di Facebook.
Prakarsa menghidupkan lagi Majalah HumOr secara online menurut Darminto M Sudarmo timbul secara tak sengaja. Semula hanya iseng-iseng dengan memposting beberapa karya unik, segar, lucu dan hangat baik itu berupa kartun opini, lelucon tulis, foto lucu maupun karya grafis lainnya yang ada di jejaring sosial ditambah bahan-bahan dari database pribadi, ternyata pada pertengahan Januari 2012, blog yang diberi nama Majalah HumOr itu ternyata mendapat sambutan yang meriah dan dukungan dari berbagai kalangan.

Kini meski blog ini masih berlabel blogspot namun web design-nya telah
Reade More >>

deMes

Kartun Indonesia di Era Demokrasi Parlementer


Priyanto Sunarto, kartunis Majalah TEMPO dan Staf Pengajar di ITB.


Mengamati kartun editorial koran Jakarta tahun limapuluhan seakan menikmati pesta pora kebebasan pers. Koran dan kartun melempar kritik, cercaan bahkan tuduhan secara terbuka. Kartun sendiri sudah lama tampil di koran sebagai taman visual pelepas lelah dari membaca teks yang ketat linear. Tapi pada era demokrasi parlementer kartun sangat vokal dimanfaatkan sebagai alat menjatuhkan citra lawan politik. Kartun dengan bebas menyerang lawan, baik kebijakan maupun tokohnya. Masa itu Trial by the press seakan hal lumrah. Lelucon politik lewat kartun dieksplorasi dengan penuh semangat. Berkias (metafora) lewat gambar yang umumnya dipercaya sebagai upaya menghaluskan (sofistikasi) ungkapan, malah sering dipakai untuk memperkerasnya menjadi kasar.
Reade More >>

deMes

Stand Up Comedy ala Indonesia


LIN AWARDS

Darminto M Sudarmo, penulis beberapa buku humor.
Sejujurnya agak mengagetkan juga ketika Kompas, edisi Minggu, 9 Oktober 2011, mengangkat laporan utama tentang pertunjukan stand up comedy (lawak tunggal) di Indonesia sebagai seni pertunjukan humor alternatif yang belakangan mulai marak di kafe dan televisi. Laporan ini terasa sebagai oasis yang memberikan kesegaran dan harapan baru. “Orang-orang berbagi tawa untuk melepas kegetiran hidup”, tulis koran tersebut.
Ketika kondisi sosial budaya di masyarakat terasa stag, runcing dan stereotip; ketika tekanan hidup terjadi karena berbagai persoalan politik, ekonomi, hankamnas dan lain-lain, stand up comedy menjadi semacam media katarsis yang akrab dan dekat dengan kehidupan masyarakat sehari-hari. Begitu sederhananya bentuk pertnjukan ini, seseorang dapat tampil meski dengan hanya memakai t-shirt dan celana pendek. Spontan, segar dan kadang menyelinapkan materi-materi cerdas yang mencerahkan.
Reade More >>

deMes

Tentang Kolom, Esai, Artikel, Opini Para Humoris


 

 Darminto M Sudarmo, penulis beberapa buku humor.

Menyimak kolom-kolom Art Buchwald, kita mendapatkan tulisan yang ringkas-tangkas -pedas kadang nakal kadang lucu tentang berbagai persoalan aktual. Namanya kolom kontekstual. Kolom yang terkait dengan peristiwa dan berita yang lagi jadi pembicaraan orang banyak. Berbeda dengan sebagian besar karya Simon Carmiggelt (nama pena: Kronkel). Kolomnis asal Belanda ini, kendati menulis kolom tetap berpijak dari basic-nya sebagai pengarang. Sehingga karya-karya kolomnya banyak yang bernuansa universal. Masih dapat dinikmati pada ruang dan waktu yang berjarak dari saat ditulis. Ibarat kata seperti cerpen, lebih pendek lagi; seperti joke atau anekdot, lebih panjang lagi.

Menikmati kolom karya MAW Brouwer, kita seperti dijerat ke dalam teka-teki pengembaraan dan piknik literatur penulisnya yang selalu membaca buku baru. Yang sesekali mengutip-kutip dan menjadikan kutipan itu sebagai landasan visi atau gagasan penulisnya. Atau setidaknya, sebagai sebuah asumsi, penulis tidak sembarangan asal cuap; ada peneliti sosial atau orang serius yang telah melakukan pengkajian tentang hal tersebut. Situasi membaca semacam itu juga didapati oleh sebagian pembaca saat menyimak kolom (Catatan Pinggir)-nya Goenawan Mohamad. Bukan saja GM melakukan wisata literatur yang bukan main jauhnya, ia juga melakukan wisata fisik, dan wisata ide yang kadang cukup mengejutkan. Di sinilah, di dalam kejutan-kejutan inilah kita dapati rasa humor penulisnya. Rasa yang sama sekali berbeda saat kita membaca tulisan yang memiliki ide bagus namun disajikan secara kering dan tanpa sentuhan rasa intelektual.
Reade More >>

deMes

Kontroversi Sukhoi hingga Lady Gaga


Darminto M Sudarmo, penulis beberapa buku humor.

Sejujurnya melakukan perjalanan dengan naik pesawat terbang itu asyik, asal tidak nabrak gedung, tebing atau gunung. Selain waktu tempuh lebih pendek (dari kereta atau mobil) duduk berlama-lama di bangku pesawat juga bikin bosan dan pantat panas. Umumnya, saat-saat paling mencekam adalah ketika pesawat melakukan takeoff  (tinggal landas) atau landing (turun landas). Saat-saat seperti ini, bila dapat dilampaui dengan aman, hati terasa lega. Di luar kedua peristiwa tersebut, untuk pesawat komersial sebenarnya penumpang boleh melepas sabuk pengaman, lalu ada yang ngobrol, tidur, bengong, ke kamar kecil atau sibuk menyantap hidangan yang dibagikan. Tak ada ceritanya lalu cari-cari masalah dengan melewati rute yang berbahaya dan menantang. Seharusnya begitu.
Begitu pula logika yang ada di benak pemilik industri pesawat terbang. Mengingat pentingnya pesawat bagi mobilitas orang sedunia, yang butuh kecepatan, kenyamanan dan keamanan, maka apapun yang pernah terjadi, the show must go on.

Pesawat-pesawat terbaru dan tercanggih harus tetap diproduksi karena itu memang dibutuhkan. Dua brand yang hingga kini merajai industri pesawat komersial dunia adalah Boeing dan Airbus. Kompetisi di antara mereka berdua juga seru. Keduanya bisa disebut pemilik duopoli saat ini.
Reade More >>

deMes

Darminto Daily Activities

  • Menulis artikel untuk media massa dan  buku tentang sosial-budaya-seni dan aneka materi tentang humor, kartun, dan lawak (stand up comedy)
  • Menggambar kartun, melukis (abstrak-kontemporer)
  • Mengurus penerbitan buku independen di Kombat Publishers dan jasa Cartoon Services Team
  • Menjadi pembicara di berbagai kota tentang humor, kartun, dan lawak
  • Menjadi konsultan: media, jurnalistik, teknik penulisan ilmiah popular dan seni (interior dan lukis)
  • Menulis skenario/cerita lelucon untuk production house dan broadcast (TV)
  • Merancang desain produksi untuk program acara di TV
  • Mengasuh beberapa blog/situs di internet
  • Meneliti tentang fenomena industri PTC (Paid to Click) di dunia maya.
          Oke sampai ketemu di Majalah HumOr online - email: majalahumor@gmail.com    



Reade More >>

deMes

About Darminto


Darminto M Sudarmo

Known as a humor observer/critic – covers comedy art, cartoon, articles/column and some other humorous materials. Born in Kendal, Central Java, Indonesia. Since his junior high school, he has been active drawing cartoons, writing articles/short story, and painting contemporary art of painting. Creative Experience: Writes socio-cultural article  at Kompas Daily News, Kontan, Surabaya Post, Suara Merdeka, Kedaulatan Rakyat, Sinar Harapan, Panji Masjarakat, Gatra, Horison, HumOr, etc.. Written books: Revolution ala Jiddu Krishnamurti; Indonesia Is Robed;The Anatomy of Humor in Indonesia; How to Be A Good Comedian; Tukul Arwana Dies Laughing, etc. Organization: One of the founder of KOKKANG, 1981. In 1987/1988, Chief of Candalaga Mancanegara International Cartoon Festival,1988, Semarang. In 1989-1994, Secretary General of Pakarti and Board Directors of LHI (The Institute of Indonesia Humor). Work Experience: (1990 – 2008) Managing Editor/Chief Editor at HumOr Magazine; Program designer at Jaya Suprana Show; Script Writer at Asep Show; Ludruk Glamour and Toshiba Top Ten Video Weekly. These days, he likes to express his ideas via Majalah HumOr online – http://majalahumor.blogspot.com/

2) 08158834589; 08129028972 (SMS Only)
3) Perumahan Bukit Kencana Jaya,Semarang, Central, Java, Indonesia.
    Basecamp: Jl. Kebon Jeruk Raya No. 111, Batusari, Jakarta Barat 11530 - (special necessity)
Reade More >>

deMes

Ya Beginilah Kartun dan Kartunis Indonesia

Saat Pembukaan Museum Kartun Indonesia Bali, Maret 2008 (foto: dms)

Darminto M SudarmoKatalog Museum Kartun Indonesia Bali, Maret 2008*)

SENI kartun di Indonesia, sejujurnya, tetap belum dapat melepaskan dirinya dari seni grafis. Kalaupun dalam proses perjalanannya sesekali ia punya upaya geliat diri lewat eksperimentasi dan eksplorasi, faktanya upaya itu hanya merupakan riak-riak kecil yang tak menerbitkan gaung signifikan bagi para kartunis Indonesia maupun apresian pada umumnya.

Ada sederetan wacana tentang kartun tiga dimensi, kartun instalasi, kartun kontemporer, dan lain-lain, namun faktanya ia hanya muncul sesaat, sesudah itu lalu menguap begitu saja. Apalagi wacana-wacana yang muncul itu pada tingkat obrolan warung kopi. Belum pernah ada seminar serius bertema sebagaimana disebutkan di atas dan mengundang pembicara-pembicara ahli yang memiliki kompentensi memadai tentang hal tersebut.

Pada akhirnya, arus yang kemudian dianggap dominan mendapatkan tempat dan apresiasi adalah kartun opini (baca: editorial cartoon, political cartoon) dan hanya sedikit apresiasi untuk kartun-kartun lelucon (sosial-budaya) yang notabene secara teknis digambar secara “kodian” dan miskin detail. Dari aspek gagasan yang ditawarkan pun tidak melewati perenungan mendalam, sehingga sebagian besar kartunis lelucon (gag cartoonist) “dituduh” hanya mengolah tema atau topik secara permukaan dengan muatan pesan berkutat dari itu ke itu saja.
Reade More >>

deMes

Membedah Anatomi Kerja Kartunis

Jitet Koestana

Darminto M Sudarmo KOMPAS – Minggu, 20 Juli 2003

SEMINGGU sebelum acara diskusi kartunis (Lektur Terbuka: Kartunis dan Tugasnya oleh GM Sudarta dan Lat) di Taman Ismail Marzuki, 12 Juli 2003, saya didaulat kartunis Pramono (Ketua Umum Pakarti -- Persatuan Kartunis Indonesia) agar bersedia memandu acara diskusi tersebut, disponsori oleh Pusat Kebudayaan Jepang, Jakarta. Bagaimana mungkin saya dapat menolak “perintah” beliau, salah satu tokoh kartunis senior negeri ini, apalagi bila itu ada kaitannya dengan sebuah momentum yang menarik; yakni bertemunya dua figur maestro kartunis Indonesia dan Malaysia , GM Sudarta dan Lat, yang seingat saya  baru pertama kali dipertemukan dalam sebuah forum di Indonesia.
    Gairah budaya pun semakin tumbuh, apalagi bila mengingat Indonesia sedang dilanda berbagai arus kepentingan yang membuat pening kepala, geli hati sekaligus jengkel karena UU Pilpres, Susduk, Hak DPR untuk menyandera, dan lain-lain yang begitu naïf, ternyata bisa terjadi dan memang benar-benar terjadi.
    Saya pun bersiap-siap mengumpulkan joke-joke “maut” agar dalam pelaksanaan diskusi dapat diarahkan ke suasana yang lebih “pedas” tapi segar dan eliminatif. Harapan saya, kendati hanya berlangsung selama dua jam saja, pertemuan dua jagoan itu bisa menjadi katarsis bagi semua yang hadir. Sejenak melupakan proses sejarah yang gerah, yang terjadi di negeri ini. Tambahan lagi, diskusi yang bertajuk: Kartunis dan Tugasnya bukankah tergolong tema ringan dan pasti akan penuh dengan canda dan derai tawa. Bayangan lucu yang terproyeksi dalam kepala saya, pasti para kartunis akan menjawab sambil berseloroh, “Tugas kartunis apa lagi? Tentu saja mencari nafkah buat keluarganya”. Hadirin yang kaget akan merespon jawaban itu dengan gelak tawa dan tepuk tangan; betapa mewahnya bila suasana seperti itu bisa terjadi.
Reade More >>

deMes

Kartun Indonesia, Komoditas Sumber Daya yang Belum Terurus

Cartoon by Thomas Lionar

Darminto M Sudarmo - KOMPAS, Minggu, 22 Mei 1994

SAMPAI tahun 1994 dalam perkiraan kasar di Indonesia terdapat tak kurang 1.300 kartunis. Mereka tersebar dari Sumatera, Jawa, Bali hingga Sulawesi. Memang harus diakui, secara kualitatif, mungkin hanya 30-40 persen di antara jumlah itu yang layak diperhitungkan secara serius. Namun, potensi kreativitas dan produktivitas mereka tak kalah bila dibandingkan dengan kartunis dari beberapa negara lain.
    Sebuah survei yang dilakukan majalah kartun dunia WittyWorld terbitan Amerika Serikat tahun 1991-1992, diikuti oleh 245 kartunis dari 46 negara, tersusun peringkat menarik. Terdapat 25 daftar kartunis kenamaan dunia. Tercantum nama Mikhail Zlatkovsky, Rusia, urutan pertama; Thomas Lionar, Indonesia, urutan kesepuluh; dan Victor Bogorad, Rusia, urutan terakhir. Kriteria survei itu merujuk pada aspek artistik, ide, dan pengakuan sesama kartunis dalam skala nasional maupun internasional.
    Mengapa ini menarik? Thomas Lionar (almarhum), yang lebih dijuluki kartunis meteor (begitu cepat membara, cepat pula lenyap, meninggal dalam usia muda) kendati di bawah Jeff Macnelly, Guilermo Mordillo, Bill Watterson, dan Pat Oliphant, namun posisi urutannya bahkan berada di atas Gary Larson, Ranan Lurie maupun Herge.
    Indikasi ini, meskipun hanya satu versi di antara sekian versi yang mungkin ada, namun tetap layak dijadikan asumsi, bahwa kartunis Indonesia telah mampu tampil secara wajar dalam barisan kartunis dunia. Apalagi, bila diperkukuh dengan kehadiran GM Sudarta, Dwi Koendoro, Pramono, Prijanto Sunarto, T. Soetanto, Jaya Suprana dan didukung banyak kartunis muda lain yang acapkali merebut berbagai kejuaraan dalam lomba kartun internasional yang diselenggarakan berbagai negara.

Refleksi Komoditi
    Kartun, meski peran keseniannya tak bisa diragukan lagi, namun sebagai perangkat lunak, ia merefleksi ke sektor komoditi yang luar biasa luasnya. Sejumlah sindikasi di Amerika Serikat, Jepang, Inggris dan lain-lain, mengolah kartun sebagai software yang memiliki nilai jual tinggi. Baik dalam bentuk cerita lepas bergambar, yang dikonsumsi media massa di seluruh dunia; sebagai buku bacaan, yang diterjemahkan ke puluhan bahasa di dunia; maupun sebagai sinema animasi (film dan iklan) yang ditayangkan baik di televisi maupun layar lebar di berbagai penjuru dunia. Bahkan, trend mutakhir sinema di Amerika serikat yang menduduki peringkat atas saat ini, adalah trend film-film kartun.
    Mengapa Indonesia tidak mengolah peluang ini? Mengapa televisi kita, baik yang negeri maupun swasta, sebagian besar (kalau tak boleh disebut seluruhnya) menayangkan film kartun animasi impor? Mungkin hanya satu dua biro iklan yang mau mempercayakan visual bergaya kartun. Pernah terlontar pertanyaan, bagaimana kalau kartun animasi kita produksi sendiri? Pasti akan muncul jawaban klasik, memproduksi sendiri kartun animasi, tak mungkin. Biayanya mahal. Tak ada produser yang mau ambil risiko. Tak sepadan antara ongkos produksi dan nilai jual perangkat itu ketika dipasarkan ke beberapa stasiun televisi.
    Benarkah sedemikian risaunya peluang investasi di bidang komoditi kartun? Kalau sejumlah negara di Asia, seperti Jepang, Korea, dan Taiwan juga berhasil menggarap kartun menjadi ladang komoditi yang marak dan penuh gairah, apakah di negeri-negeri itu biaya produksinya murah? Hemat saya, kasus kartun di negeri kita terlalu cepat dihakimi dalam format yang sepihak dan kurang mengoptimalkan dialog. Pendapat investor, produser, praktisi, kartunis, wakil konsumen, pemerintah (via departemen terkait), dan masyarakat awam, perlu diagendakan sebagai data yang layak dirujuk validitasnya.
    Keterburuan sejumlah animator kita untuk “menyerah” karena alasan modal uang, mungkin persoalan kasuistik. Meski demikian, masih ada sejumlah animator lain, di antaranya Proanimasindo, Jakarta, tetap menampakkan semangat juangnya. Ada dua paket “kolosal” yang sedang digarapnya, yakni Satria Indonesia dan Doyok. Paket ini, khusus disiapkan untuk ditayangkan di TPI secara periodik. Beberapa tahun yang lalu, serial animasi Huma juga pernah digarap PFN, sayang tak bertahan lama. Sementara Citra Audivistama, konon sedang menyiapkan serial animasi Bobo yang juga untuk ditayangkan di televisi swasta.
    Kabar ini jelas menggembirakan. Apalagi sejumlah biro iklan atau biro jasa animasi, dengan dukungan komputer dan perangkat eksternal, makin sibuk melayani permintaan klien yang kian meningkat cita rasanya. Sejumlah produk animasi, baik berupa tampilan logo di beberapa televisi dan tayangan iklan, digarap oleh bangsa kita dengan hasil cukup lumayan. Ini juga indikasi lain, animator kita di bidang teknis, baik yang manual maupun digital (menggunakan komputer) dapat membuktikan kemampuannya.

Refleksi Profesi
    Kartunis, baik sebagai figur di belakang kreativitas maupun elemen inti sebuah produksi software makin dituntut peranannya. Artinya, ia akan menentukan sikap sebagai “institusi” profesional atau masuk dalam salah satu sistem institusi sebuah perusahaan. Dari sejumlah sindikasi kartun yang maju, kedua pilihan itu tetap ada.
    Pola kerja kartunis profesional, mengkontribusi sejumlah produk, baik yang dipesan sindikasi atau yang ditawarkan atas inisiatif kartunis sendiri.
    Lepas dari aturan main yang ada, bila kegairahan sejumlah institusi atau perusahaan untuk mulai menentukan ladang komoditi di kartun; bidang yang sangat tipikal dan memiliki fleksibilitas unik ini; maka kian jelas implikasinya, yakni munculnya sebuah terminologi profesi baru dalam tradisi keprofesian kita. Selama ini, seorang karikaturis/kartunis yang bekerja di media massa, selalu “numpang” golongan ke dalam profesi wartawan, padahal kartunis, adalah jalur profesi yang juga sah hadir dalam peta terminologi profesi di negeri ini. Lebih-lebih di mancanegara.
    Masih merujuk WittyWorld, edisi nomor 14, Summer/Autumn 1992, dimuat peta penghasilan kartunis dunia. Dari Australia, Bangladesh, Bulgaria, Brazil, Chile, Cekoslowakia, Denmark, Mesir, Jerman, Hongkong, India, Indonesia, Jepang, Meksiko, Nigeria, Peru, Filipina, Polandia, Rumania, Turki, Amerika Serikat hingga Rusia. Peringkat pertama adalah Amerika Serikat; rata-rata penghasilan tiap kartunis sebesar 88.069 dollar AS (kurs saat ini kira-kira 187.675.039 rupiah) per tahun. Dengan perbandingan, penghasilan tertinggi 1.400.000 dan terendah 500 dollar AS.
    Peringkat penghasilan kartunis Amerika Serikat ini, mungkin masih merupakan kontroversi. Dalam sebuah wawancara sebelumnya antara WittyWorld (edisi nomor 13) dengan Charles M. Schulz, terungkap data penghasilannya mencapai 24.000.000 dollar AS per tahun. Kartunis pencipta tokoh Peanuts ini memang dikenal berpenghasilan “Megadollar”, bahkan lebih besar dari sejumlah aktor dan aktris top Amerika.
    Peringkat terakhir, Polandia, rata-rata hanya 180 dollar AS per tahun. Perbandingannya; tertinggi 240 dan terendah 100 dollar AS. Indonesia masuk peringkat 12 dari sejumlah negara yang disebutkan itu, namun masih di bawah Filipina, Meksiko, Brazil, bahkan Nigeria. Penghasilan kartunis Indonesia per tahun menurut peringkat itu, rata-rata baru mencapai 1.012 dollar AS. Perbandingannya; tertinggi 2.000 dan terendah 265 dollar AS.
    Data penghasilan kartunis Indonesia ini, juga masih kontroversial. Khususnya untuk penghasilan tertinggi. Kemungkinan besar, nama-nama seperti GM Sudarta, Jaya Suprana, Dwi Koendoro, Pramono, dan Prijanto Sunarto, pasti termasuk kartunis yang tidak mengisi angket yang disebarkan WittyWorld itu.
    Demikianlah, tulisan ini semata untuk memberi gambaran maraknya peta komoditi kartun di berbagai belahan dunia termasuk Indonesia. Logika sederhananya, bila sebuah sindikasi mampu membayar seorang kartunis hingga puluhan milyar rupiah per-tahunnya, betapa gemuruhnya peta omset sindikasi itu. Bukan saja ini berhubungan dengan aspek kualitatif sebuah software, namun juga menggambarkan betapa jagonya sindikasi itu mengolah seluruh sistem manajemennya sehingga mampu menjual produk yang hanya bernama kartun, dengan omset dan keuntungan yang gila-gilaan!






Reade More >>

deMes

Kartun Benny & Mice: Meledek Gaya Hidup Snob



Darminto M Sudarmo - KOMPAS, Minggu 16 Sep 2007

          Jakarta luar dalem? Pilihan ini sungguh menggelitik. Melihat Jakarta dari luar, apa susahnya? Bahasa candanya, nenek-nenek juga bisa. Namun, melihat Jakarta di bagian dalem? Ini sungguh pekerjaan menantang dan tidak sembarang orang mampu melakukannya.
Apalagi cara melihat yang dilakukan oleh dua kartunis Benny dan Misrad tidak sekadar menatap dengan mata melotot dan mulut “manyun”, tetapi seperti layaknya kerja para jurnalis, fotografer, dan sekaligus karikaturis.
Sebagai jurnalis, mereka mencatat berbagai gejala atau fenomena yang menonjol di isi perut Jakarta; sebagai fotografer, mereka mengabadikan secara visual obyek-obyek otentik yang terkait dengan fenomena (dipakai untuk rujukan gambar kartun); dan sebagai karikaturis, mereka harus mampu ceriwis mengusili fenomena dengan sentakan humor-humornya yang segar dan khas lewat dua tokoh kartun yang bernama Benny dan Mice.
Kerja bareng dua kartunis yang kompak dan tali-temali ini sungguh luar biasa. Setiap minggu, sejak empat tahun lalu, mereka rutin mengisi rubrik kartun bertajuk Benny & Mice di Kompas Minggu. Pilihan-pilihan tema, sudut pandang dan struktur cerita, sejauh pengamatan saya, selalu baru dan beda.
Seandainya ada pengulangan tema atau sudut pandang, itu karena alasan hangat dan kuatnya radar aktualitas atas tema-tema dan sudut pandang yang terjadi pada masa penyajian kartun. Meskipun begitu, tanggung jawab mereka untuk selalu tampil kreatif, mereka buktikan dengan tidak melakukan repetisi ide atas tema dan struktur cerita yang mereka sajikan.

Voltase gerrr
Akan tetapi, satu hal yang tak dapat dielakkan adalah fakta bahwa voltase gerrr yang muncul dari setiap tawaran/gagasan mereka, tak selalu ajek; kadang kuat, kadang lemah, jadi fluktuatif, dan sangat bergantung pada kondisi atau situasi tertentu.
Ini konsekuensi logis pilihan isinya terkait dengan masalah tren, mode, fenomena yang sedang in namun rentan perubahan. Kalau kemudian kartun-kartun yang semula disiapkan untuk sesuatu yang berbau jurnalistik, hangat, dan aktual tetap dapat “berbunyi” kendati telah melewati ruang dan waktu berbeda, itu semata karena si kartunisnya lihai dalam memilih pendekatan. Kesan fenomena yang sebenarnya temporer dan terbatas itu justru terasa seolah-olah universal. Seolah-olah melibatkan emosi publik luas.
Kekhawatiran yang acapkali terjadi ketika sebuah rubrik kartun rutin di sebuah media yang kemudian dibukukan adalah hadirnya rasa datar karena bentuk lay out, teknik penyajian, dan lain-lain, performance yang cenderung diulang-ulang, ternyata di kumpulan kartun Benny & Mice hal itu tidak terjadi.
Setidaknya, dua kartunis yang pernah menggarap seri Lagak Jakarta hingga enam judul ini sudah sangat prepared. Bahwa kartun mereka yang dimuat di Kompas, bukan tidak mungkin pada suatu saat berlanjut diterbitkan dalam bentuk buku; maka, entah sengaja atau tidak, terdapat cukup banyak varian lay out dan penyajian (khususnya proporsi gambar tokoh yang kadang tampak jauh, menengah, dan dekat-dalam istilah sinematografi: long shot, medium shot, dan close up); sehingga ketika potongan-potongan sajian ini dikumpulkan dalam bentuk buku, terjadi suasana yang tidak flat, datar, dan menjemukan. Bahkan dengan adanya pilihan tema dan pendekatan yang bervariasi dari sang kartunis, kita serasa dibawa ke rekreasi optis-dibawa bertamasya dari situasi yang sarat kekonyolan satu ke situasi yang lain.

Rela “Capek”
Kerja dua kartunis yang saya anggap luar biasa adalah kesabaran dan kemauan mereka untuk rela “capek”; mau menyajikan detail setting secara serius. Banyak kartunis kita yang suka menghindar dari sulitnya menyajikan factual set dan detail obyek di mana si tokoh berada.
Bukan tak mungkin, keberhasilan komunikasi kartun Benny & Mice di antaranya karena proses kreatifnya ditunjang oleh tradisi riset (literatur maupun on the spot terjun ke lapangan). Mereka tak asal-asalan menyajikan mesin ATM, mesin hitung kasir di toko swalayan, interior mobil yang memakai LCD TV, hingga lalu lintas yang ruwet dan terkunci.
Pilihan redaksi yang membagi bab dalam buku kumpulan kartun berdasarkan kesamaan tema, di satu hal, memang memudahkan pembaca untuk memilih dan memulai; namun risiko lainnya juga ada; yakni kemungkinan tergiringnya pembaca ke situasi yang menjebak; yakni situasi yang datar tadi.
Salah satu contoh bab tentang: Trend dan Mode. Dalam bab ini, kalau kita cermati, kita jadi menemukan “modus operandi” si kartunis dalam menyajikan gagasannya. Padahal, “modus operandi” atau rahasia resep dalam menciptakan “masakan” yang oke itu tak layak kalau sampai kecolongan pihak lain.
Kita lihat misalnya bab tentang Trend dan Mode dari halaman 2 hingga 30, nyaris si kartunis memakai jurus atawa “modus operandi” dengan menyajikan Si Benny dan Si Mice jalan-jalan, mereka lalu melihat orang-orang lagi mejeng sesuai dengan tren dan mode terbaru, pada akhirnya, arena-entah kritis atau sirik-Benny dan Mice bersikap tak mau kalah. Mereka berusaha keras untuk menjadi makhluk modis kendati untuk itu harus melakukan kekonyolan-kekonyolan.
Salah satu yang cukup menyentak adalah saat musim flash disk dikalungkan di leher, Benny dan Mice “menghantam” kegenitan itu dengan mengalungkan hardisk ke leher sendiri. Motif serupa juga tampak saat mereka mengangkat topik gigi berkawat, stiker mobil kena tembak, celana ketat bawah, tarif seluler murah, video phone, dan lain-lain.
Secara substansi ide-idenya menarik, tetapi karena berdekatan, tampak seakan sebuah repetisi.

Ada tawa ada renungan
Membaca lengkap kumpulan kartun dua kartunis ini, kita dibawa masuk ke dalam renungan-renungan. Ketawa, iya sudah pasti. Namun, tidak cukup berhenti di tawa; kartun-kartun Benny & Mice, menyeret kita untuk ikut berpikir. Tentang berpikir ini sudah tentu sesuai dengan relevansi kita masing-masing.
Gagasan-gagasan yang di-”tembak”-kan dua kartunis ini berfungsi sebagai stimulus yang akan merangsang perasaan intelektual pembacanya masuk ke dalam renungan-renungan; renungan yang sungguh berbeda dan mengasyikkan. Karena sesekali ia dapat membuat kita malu melihat diri kita sendiri.
Sikap yang ditampilkan dua tokoh kartun yang bernama Benny dan Mice itu sepertinya mewakili sikap kelompok masyarakat tertentu yang ada di Jakarta, sepertinya. Namun bisa juga tidak mewakili siapa-siapa. Namanya saja dunia ide. Karya cipta, rekaan.
Akan tetapi, bila kenyataan yang terjadi dalam proses kreatif lain, sungguh fakta ini cukup mencemaskan dan mendebarkan. Mencemaskan, kalau benar mereka ada; bagaimana mungkin, mereka adalah korban doktrin berhala kehormatan dan eksistensi yang bernama mode atau tren. Korban kasak-kusuk iklan. Bujuk rayu “kapitalisme” yang seolah dapat mengantarkan masyarakat Jakarta, atau bahkan masyarakat Indonesia, masuk ke dalam pintu gerbang eksistensi lewat aksi yang bernama membeli. Ya, membeli apa saja yang ditawarkan tanpa harus berpikir benda yang kita beli itu bermanfaat atau tidak.
Sikap tak mau kalah dua tokoh kartun ini dan jalan solusi yang dipilih untuk memberi pelajaran pada orang-orang snob seperti menggambarkan peta “pertarungan” pola pikir masyarakat kita yang sebenarnya rasional tetapi tak berdaya, melawan gempuran iklan yang tak kunjung lelah dan kapok. Pada akhirnya, iklan yang terus-menerus hadir dan dirancang sedemikian efektif adalah juga sebuah doktrin yang dapat memengaruhi, bukan saja pandangan hidup tetapi juga pilihan hidup seseorang.
Dalam kekalahan atau kemenangannya, dalam ketidakberdayaan atau keluguannya, mereka tetap berani menghadapi gempuran-gempuran yang terus-menerus meneror mereka. Benny dan Mice bukan menyerah atau menggampangkan persoalan, mereka justru tampil dengan inspirasi-inspirasinya yang tak terduga; bahkan, perkasa. Ini semboyan mereka yang tak gampang menyerah: silver bird atau bajaj. town house atau kontrakan. tuna sandwich atau taoge goreng. senang. susah. life goes on..!
Reade More >>

deMes

Kartun Benny & Mice: Hape Adalah Segala-galanya


Darminto M Sudarmo -  SUARA MERDEKA,  4 Januari 2009

Manusia modern tanpa hape? Ia bisa celingukan seperti orang hilang. Seperti orang buta di tengah kota; seperti orang bisu tuli di keramaian lalu lintas gossip dan wacana. Jadi? Ya, rugi banget, gitu. Setidaknya itu sebagian topik yang disinggung Benny dan Misrad dalam bukunya Kartun Benny & Mice: Talk about Hape. Buku gress yang muncul setelah serangkaian seri buku-buku yang lain dengan fokus perhatian pada gaya hidup manusia metropolis.

Seperti buku-buku kartun sebelumnya, Benny dan Misrad selalu memiliki sudut pandang melihat persoalan secara nakal, jeli dan kocak. Mereka mendekati persoalan dengan cara yang beda; penuh gelitik, kadang kurang ajar sedikit, kadang sirik banget, tetapi sesekali mereka juga cukup sportif dan tidak pandang bulu: menertawakan ketololan dan kesialan diri (tokoh Benny dan Mice). Dengan kata lain, bila Anda menyimak dengan seksama, selain mendapatkan hiburan yang cukup oke, Anda juga diajak mencermati situasi psikologis yang terdapat pada perilaku manusia-manusia modern. Ada yang jadi bulan-bulanan iklan, ada yang demen show, ada pula yang lupa prioritas, sehingga anggaran untuk hape dan pulsa seakan segala-galanya. Seakan tak ada yang lebih penting di dunia ini selain urusan yang itu-itu juga.

Padahal nih, orang modern konon merasa belum lengkap jika belum memiliki: pekerjaan/jabatan, tempat tinggal (rumah), kendaraan, rekening bank, asuransi dan hobi. Tetapi dengan datangnya hape (yang notabene masuk klasifikasi hobi dan pekerjaan), asal itu paling mahal dan paling canggih, maka tidak memiliki yang lain, tidak apa-apa. Kalau perlu, tiap minggu ganti yang lebih baru. Dengan begitu, si empunya hape akan merasa sebagai manusia modern yang up to date.

Pengguna Hape
Siapa pengguna hape? Menurut dua kartunis ini, mereka bisa dari anak-anak (TK, SD), remaja, psk (callgirl), pembantu, eksekutif, bencong, ibu rumah tangga, mahasiswi, preman, kakek-kakek genit, penjahat, hingga penjual sayur keliling. Semua ber-hape-ria. Jadi tidak keliru bila dikatakan: hape memang untuk semua.

Dengan alasan masing-masing pula, para pengguna hape bertingkah laku. Bayangkan bila di dekat Anda ada seorang laki-laki yang dari penampilan dan pakaiannya bisa ditebak profesi atau bisnisnya, tetapi ketika ia ngomong di hape, seakan dia adalah saudagar besar, karena angka-angka transfer bank yang disebutkan tampak atraktif dan serba puluhan juta. Apa boleh buat, orang-orang seperti mereka memang banyak bertebaran di sekitar kita. Tetapi ada pula kisah mengenaskan, sudah capek-capek beli hape kelas triji (3-G), semalem ditunggu sampai tidak dapat tidur, tidak juga ada orang yang nelepon.

Mungkin bukan sesuatu yang berlebihan bila pebisnis sibuk memang memerlukan hape canggih dan lengkap fitur untuk keperluan pekerjaannya. Misalnya dia harus memantau pergerakan bursa saham, lalu lintas transaksi perusahaan yang dipimpinnya. Dan lain-lain informasi terkini yang semua itu sangat berkaitan dengan pengambilan keputusan di perusahaannya.
Kekonyolan memang agak sedikit terjadi jika kita memerlukan hape yang sebetulnya hanya untuk komunikasi telepon dan SMS, tetapi kita memaksa diri membeli hape yang paling baru dan canggih. Akibatnya yang terjadi adalah fitur-fitur yang menopang kebutuhan canggih tidak digunakan dan tersia-sia, atau bisa juga karena memang kita malas/tidak dapat mengoperasikannya. Kedua kartunis ini dengan cukup tajam dan jenaka menelanjangi kekonyolan kita semua yang mudah terjebak oleh permainan iklan dan promosi.

Diuber Habis
Kekonyolan-kekonyolan lain juga dapat dilihat dari tiap bab: dari persoalan masalah handset, operator, pulsa, SMS, perilaku pengguna hingga fitur yang ada di tiap hape. Semua diuber habis oleh kedua kartunis ini dengan sedetil-detilnya. Masalah handset misalnya; khususnya yang sudah lama tapi masih dapat dioperasikan; dijual tidak laku, dibuang sayang. Maka jalan keluarnya adalah membeli casing baru. Ya, dengan hanya mengeluarkan Rp20 ribu, hape tampak bersinar lagi.

Fungsi handsfree, misalnya. Namanya saja hands yang free. Alat itu dimaksudkan agar pengguna hape dapat berhaperia dengan tangan bebas dari tugas memegang handset, khususnya saat lagi nyetir mobil agar tak terganggu. Tetapi pada kenyataannya, ada juga yang sudah menggunakan handsfree tapi tangan kanan masih pegang handset, tangan kiri pegang kabel. Handsfree juga sangat tepat digunakan saat situasi lagi gaduh sehingga dapat bebas dari noise, sehingga kita dapat mendengar suara lawan bicara lebih jelas. Lalu apa pula artinya bila si pengguna sudah pake bluetooth handsfree, tetapi tangan si pengguna juga masih gerayangan pegang telinga pegang handeset? So begitulah.

Kisah tentang SMS juga tak kalah hebohnya. Begitu hebohnya kasus SMS, khususnya bagi yang punya pasangan. Baik itu yang masih pacaran maupun yang sudah suami istri. Semua menjadi cermin bagi tingkah laku kita semua. Kisah-kisah yang menegangkan karena kesalahpahaman atau karena memang salah satu selingkuh betulan, ikut menjadi bumbu penyedap bagi mereka yang hidup berpasangan; kisah perang dingin yang lama dan tak tercairkan dan kemudian berakhir dengan perpisahan juga cukup banyak terjadi di masyarakat.

Begitu gawatnya persoalan SMS sampai akhirnya keluar lagu berjudul serupa dan populernya bukan main. Benny dan Misrad membidik persoalan SMS dari kaca mata yang menggelikan; itu tergambar ketika lagi enak-enak tidur, si istri mendengar hape suaminya berbunyi di tengah malam buta: ada SMS masuk. Iseng-iseng ditengok, eh tertulis: halo sayang, udah bobo belum? Tentu bisa dibayangkan seperti apa reaksi si istri yang bertubuh gembrot dan cinta banget sama suaminya itu.

Membuka Kesadaran
Tanpa diduga, di antara berlimpahnya slengekan dan guyonan ala Benny dan Mice yang genuine dan mengalir, ternyata ada juga guyonan mereka yang tampaknya santai dan tanpa ekspresi menggebu namun sesungguhnya mengandung “penyadaran” atau sebutlah pencerahan bagi pengguna hape atau pembaca secara umum. Ini serius. Keduanya mengkritisi praktik bisnis SMS yang iklannya kerap muncul di TV.
Pada topik “SMS Ramalan” halaman 59 tampak sesosok figure di TV yang berkata, “Ketik REG spasi Ramalan, kirim ke 2345…Nasib Anda dapat saya baca dari nomor hape Anda…” Lalu Benny nyeletuk, “He he he, kacau nih orang!” langsung disusul komentar Mice, “Lebih kacau lagi yang ngirim SMS!”

Pada halaman 53, bagian dari topik “SMS Dini Hari” tampak sesosok gadis seksi di layar TV, “Eeemmhhh….Ayo doooong….kamu kirim SMS lagi 3 kaliiii aja….Kutunggu yaaa,,,,waktunya aku tambah 1 menit deeeh…Hadiahnya handphone dan uang 5 juta loooh….” Lalu Mice berkomentar, “Orang bego mah, ngirim SMS dan buang-buang pulsa buat ngikutin kuis ginian…” tak lama kemudian disusul komentar Benny, “Orang pintar…minum tolak angin sambil nonton presenternya aja…he-he-he!”

Dan yang agak “menggelikan” karena sama sekali tidak logis tampak pada topik “SMS Idola” di halaman 49. Di sebuah layar TV terlihat sesosok artis cantik, “Ketik REG spasi Namaku…kirim ke 9009…SMS yang kamu terima dari hapeku lho…” Komentar kritis segera meluncur dari mulut Benny, “Iya deh, dari hape lu!! Hape lu ada 10. Yang megang orang laen. Jadi SMS-nya dari orang laen, dong!” Disusul komentar Mice yang sangat pas dan telak, “Emangnya lo gak shooting?! Kurang kerjaan amat balesin SMS orang?! He he he…!!!”

Sikap kritis namun tetap komis (baca: komedis, santai dan lucu) seperti ini memang perlu agak diperbanyak. Seandainya kedua kartunis juga mengkritisi praktik penipuan lewat hape dengan iming-iming hadiah barang (mobil) atau pulsa jutaan rupiah dengan berbagai modusnya yang terus berubah dan beberapa di antaranya bahkan bisa muncul menggunakan symbol operator, tentu percaturan tentang hape akan lebih seru.

Makin tambah seru lagi bila sikap kritis itu juga ditujukan kepada institusi yang getol mewajibkan registrasi bagi pengguna nomor perdana, yang ternyata hanya jadi ritual regulative belaka. Pemilik nomor dapat menggunakan identitas siapa apa saja. Toh kenyataannya tak ada crossing check tentang kebenaran atau ketidakbenaran data dalam registrasi.

Penyalahguna nomor dapat meloloskan diri dari konsekuensi hukum yang menjeratnya. Lalu apa maksud diadakannya registrasi itu? Bila tiap operator memilik database pemilik nomor, mengapa orang-orang yang sudah berusaha 50 tahun ke atas masih mendapat kiriman SMS promo yang sebenarnya lebih cocok bagi kaum muda? Lebih konyolnya lagi, tanpa setahu si pemilik, mereka juga sering mendapat i-ring gratis lagu-lagu yang sama sekali tidak match dengan usia/selera si pemilik hape.

Talk about Hape tampaknya perlu disiapkan edisi lanjutannya….!
Reade More >>

deMes

Augustin Sibarani di Mata Tiga Kartunis Senior Indonesia

Augustin Sibarani and His Work
Darminto M Sudarmo - Kolom Humor, Monday, December 01, 2008

 
    TANGGAL 25 Oktober 2008 lalu, kartunis kawakan Augustin Sibarani resmi mendapat anugerah maestro yang diberikan oleh Museum Kartun Indonesia Bali. Bagi peminat kartun berusia muda banyak yang bertanya-tanya, siapa itu Sibarani sehingga namanya tiba-tiba saja muncul dan mendapatkan anugerah yang luar biasa bergengsi: maestro. Gelar yang bukan main-main. Seperti sebuah proses stilisasi yang mencapai puncak, mencapai titik kesempurnaan; padahal, kalangan muda itu belum habis mengerti dan terjawab pertanyaannya, siapa gerangan Augustin Sibarani itu?

Secara singkat dapat dijelaskan, kartunis asal Pematangsiantar, Sumatera Utara ini lahir pada tahun 1925. Selebihnya dapat kita simak sebagaimana dijelaskan oleh kartunis Priyanto Sunarto berikut ini: Masa kecilnya dilalui di Pematang Siantar, Sumatera Utara. Kemudian masih pada zaman Belanda masuk sekolah pertanian Bogor, dan semula ia bekerja sebagai pegawai pertanian (sebagai sinder perkebunan karet di Merbuh, Boja, Kendal, Jawa Tengah dan di perkebunan karet di Jawa Timur – dms). Setelah gambarnya mulai menjanjikan masa depan lebih baik, ia memusatkan perhatian pada kartun dan karikatur. Dia juga menulis artikel tentang karikatur di koran. Karikaturis politik yang menonjol masa itu selain Sibarani, antara lain Ramelan di Suluh Indonesia dan S. Soeharto (bukan presiden) di Indonesia Raya. Dan rata-rata kartunis masa itu memang lebih berani, terbuka dan tajam dibanding pada masa matangnya Orde Baru.

Sejak tahun 1955 Sibarani mulai menjadi karikatuis tetap di koran Bintang Timur yang berhaluan kiri, hingga koran tersebut ditutup tahun 1965. Di koran itulah makin menonjol kepiawaiannya dalam gambar sindir karikatur. Meskipun Bintang Timur berhaluan kiri, karikaturnya tak menunjukkan ciri realisme sosialis dogmatis seperti pada koran Harian Rakjat yang juga sangat kiri. Karikatur Sibarani lebih nakal, liar dan lincah bermain metafora: Kuda Troya, nenek sihir, penjinak cobra, kartun babi Disney dan berbagai ungkapan masyarakat global lain. Karikaturnya membuat Bintang Timur jadi terlihat cerdas dalam berungkap.

Karena perubahan iklim politik, pada masa Orde Baru Sibarani tak mendapat tempat di media massa. Baru sekitar tahun 1998 ia membuat karikatur lagi yang disebarkan “di bawah tangan” melalui fotokopi di kalangan teman baik di Indonesia, di Perancis dan Amerika. Begitu Orde Baru jatuh barulah ia dapat bernafas lagi menerbitkan bukunya “Karikatur dan Politik” (2001). Dalam buku itu dimuat pula karikatur bawah tanahnya. Kadang ia masih membuat karikatur di majalah Pantau (ketika masih berkantor di Utan Kayu, Jakarta-dms), dan menyelenggarakan pameran lukisan.

Demikianlah riwayat singkat Augustin Sibarani, tokoh Tapianauli yang berhasil menjadi karikaturis terkemuka di negeri ini…

Sementara itu, kartunis GM Sudarta berpendapat: SRANI, adalah tanda-tangan suatu kartun di sebuah surat kabar yang saya ketahui pertama kali di tahun 65-an, setiba saya di Jakarta. Waktu itu, yang sangat menarik bagi saya adalah garis yang kuat dengan ide komentar peristiwa yang terjadi dengan lugas tanpa basa-basi. Kritiknya tajam dan kadang sangat menusuk jantung saya. Seperti misalnya dalam sebuah risalah yang ditulis oleh Ben Anderson di sebuah penerbitan, di mana di situ dimuat kartun Srani, yang menggambarkan Amerika menyedot Indonesia, kemudian pejabat Indonesia menyedot tinja yang dikeluarkan Amerika dan rakyat kecil menyedot tinja yang dikeluarkan oleh pejabat.

Baru kemudian saya mengenal ia adalah Augustin Sibarani, setelah saya mulai bekerja di koran, menjadi ilustrator dan kartunis. Karya-karyanya yang masih muncul, bertubi-tubi menggedor hati saya, sehingga ada pergolakan batin saya dalam tahun-tahun berikutnya setelah saya mulai benar-benar menjadi kartunis. Terutama setelah menginjak masa-masa Orde Baru, di mana polusi serba berbau G30S, masih manguasai negara kita.

Suatu peristiwa yang membuat saya gerah dengan keadaan, adalah ketika saya mulai terjun di PWI, Persatuan Wartawan Indonesia, seksi karikatur. Dalam suatu acara pameran kartun saya ingin mengajak beliau untuk berperan serta, tetapi dilarang oleh Menteri Penerangan pada waktu itu, dengan alasan tidak jelas.

Dalam pemeran kartun yang diselenggarakannya sendiri di Balai Budaya, Jakarta, di tahun 70-an, kami, kaum kartunis sangat mendukung. Ia juga pernah berpameran lukisan yang fenomenal di tempat yang sama. Semua lukisan tak lepas dari kritik sosial. Beberapa karikatur dan lukisannya kini tersimpan sebagai koleksi surat kabar Kompas.

Di masa Orde Soeharto itu, memang kondisi dan situasi kehidupan pers sangat berubah. Karya-karya yang lugas, tajam, seperti karyanya yang telah menguasai kekaguman saya, sangatlah sulit saya terapkan. Kita maklum akan adanya SIUPP, SIT dan pembreidelan koran. Sehingga mungkin apa yang dinamakan kartun “Indonesian Style”, menjadi semacam apologia saya dalam menyampaikan kritik lewat kartun. Dan kemudian pula, Ben Anderson mengatakan bahwa kartun saya kritik lewat lucu-lucuan.

Memang! Meskipun demikian, karya Sibarani yang muncul di luar negeri atau pernah di majalah SWA pimpinan Arwah Setiawan, tetaplah seperti semula, tajam dan lugas, dengan humor yang lebih mengesankan tragis. Sikap berpendiran teguh seperti batu karang dalam karya-karya yang menyoroti kebobrokan Orde Baru, tanpa tedeng aling-aling manggambarkan Soeharto dan para pejabat serta kroninya, adalah yang kemdian Ben Anderson menyebutnya pula sebagai kartunis “single fighter” di tengah dunia basa-basi Indonesia. Augustin Sibarani, memang maestro sejati!

Pramono R. Pramoedjo salah seorang kartunis seangkatan GM Sudarta, Priyanto Sunarto, juga memiliki pendapat tentang kartunis Sibarani. Pramono berpendapat: Sebenarnya saya tidak begitu mengenal Augustin Sibarani secara pribadi; kecuali, mengenalnya sebagai seorang karikaturis kawakan yang sudah berkiprah dan malang melintang di bidang karikatur sejak zaman Bung Karno, presiden pertama negeri ini.

Para karikaturis yang kemudian “lahir” sejak era pemerintahan Presiden Soeharto, termasuk saya, yang merasa memiliki gaya penggambaran kartun dan cara menyampaikan pesan yang agak berbeda, berhasil tumbuh dan selamat (...atau menyelematkan diri dari “mata elang” pemerintah saat itu yang membatasi kebebasan mengemukakan pendapat) sampai sekarang, tidak begitu berusaha menyimak gaya karikatur Sibarani tersebut. Apalagi kemudian ia kena breidel pemerintah; tidak boleh lagi membuat karikatur untuk dimuat di media massa Indonesia. Cap yang dikenakan padanya konon ia seorang komunis; menyerahkah Sibarani pada vonis tersebut?

Tidak. Ia berganti kegiatan dan menekuni kembali kemampuannya melukis. Saya juga tidak tahu apakah ia juga diam-diam membuat karikatur meski disimpan untuk koleksi pribadinya.

Pertemuan dengan Sibarani yang agak mengesankan adalah ketika ia datang ke Redaksi Suara Pembaruan tahun 1980-an dengan membawa buku Sisingamangaraja karangannya. Ia memberi pesan agar terus berkarya dan berjuang melawan ketidakbenaran melalui media karikatur.

Pertemuan kedua adalah ketika ia dating ke pameran tunggal karikatur karya saya di Taman Ismail Marzuki, bulan Mei 2007, meski saya lupa mengundangnya. Tetapi justru ia ikut memberi sambutan dengan bersemangat. Ketika beranjak pulang dari ruang pameran yang dijejali dengan 250 karya karikatur, ia dengan didampingi Gorky, anaknya, sempat mengacungi jempol dan mengatakan, “Cukup berani, teruskan!”

Pertemuan ketiga, bulan Juni 2008 yang lalu, di rumah tinggalnya di kompleks perumahan bilangan Jalan Fatmawati, ia berseru, “Ah, Pramono!” sambutnya sambil merangkul akrab. Ia sudah kelihatan sangat sepuh. Jalan pun dengan susah payah; untung segera dituntun Gorky untuk duduk di kursinya. Tidak lagi terlihat seorang Sibarani yang berjalan dengan gagah dengan memakai baret merah di kepalanya. Tetapi sorot matanya masih setajam dulu. Ia mencoba bicara, tetapi sudah sangat lemah. Melalui Gorky, penerjemah suaranya, ia mengatakan bahwa yang ditinggali sekarang pun bukan rumahnya. Tetapi ia tetap konsisten sebagai karikaturis. Ia “bergerilya” mengirim karikaturnya ke luar negeri; mengkritik tajam pemimpin Indonesia yang menyelewengkan kekuasaan dan jabatannya.

Dari namanya orang sudah tahu bahwa ia seorang putera Batak. Maka tak heran bila kita melihat karyanya, akan terkesan keras, lugas, dan pesan yang ingin disampaikannya pun sangat langsung menohok ke masalah dan sekaligus menuding ke tokoh-tokoh di belakang masalah tersebut. Langsung, verbal, dan saya tidak merasakan ada humornya sama sekali. Tetapi memang itulah ciri khasnya; gayanya!

Demikian pandangan tiga orang kartunis senior Indonesia atas kiprah dan sikap kesenian kartunis Sibarani yang menurut penuturannya sendiri pernah berkali-kali dibujuk untuk dijanjikan hidup enak di negeri Paman Sam dan semua karya lukisnya akan dibeli mahal oleh orang-orang utusan Amerika Serikat asalkan dia mau berhenti membuat karikatur. Berhenti menggambar karikatur! Tetapi Sibarani menolak bujuk rayu itu.

Satu hal yang orang jarang tahu, di kampung halamannya, Siantar, di masa kecil Sibarani (1930-an) ternyata ia anak orang yang sangat berada. Sedikitnya, secara kehormatan maupun kekayaan berada di lapis kedua setelah Raja Siantar dan Raja Simalungun.

Ada yang berteori setengah bercanda kaitannya dengan stigma komunis yang pernah diterimanya, mana mungkin orang berlatar belakang borjuis-elitis lalu dengan mudah berubah menjadi beringas dan menjadi penganut realisme sosialis dogmatis. Tetapi begitulah, sejarah hidup Augustin Sibarani mungkin harus terjadi seperti yang selama ini dialaminya. Seperti komedian Charlie Chaplin yang pada suatu ketika diburu-buru dan akhirnya “diusir” dari Amerika karena stigma komunis, tetapi pada ketika yang lain, ia diburu-buru juga untuk diajak pulang ke Amerika; bukan untuk diadili dan dipenajara; tetapi justru untuk diberi penghargaan!

Reade More >>

deMes