Kartun Benny & Mice: Meledek Gaya Hidup Snob
Darminto M Sudarmo - KOMPAS, Minggu 16 Sep 2007
Jakarta luar dalem? Pilihan ini sungguh menggelitik. Melihat
Jakarta dari luar, apa susahnya? Bahasa candanya, nenek-nenek juga bisa. Namun,
melihat Jakarta di bagian dalem? Ini sungguh pekerjaan menantang dan tidak
sembarang orang mampu melakukannya.
Apalagi
cara melihat yang dilakukan oleh dua kartunis Benny dan Misrad tidak sekadar
menatap dengan mata melotot dan mulut “manyun”, tetapi seperti layaknya kerja
para jurnalis, fotografer, dan sekaligus karikaturis.
Sebagai
jurnalis, mereka mencatat berbagai gejala atau fenomena yang menonjol di isi
perut Jakarta; sebagai fotografer, mereka mengabadikan secara visual
obyek-obyek otentik yang terkait dengan fenomena (dipakai untuk rujukan gambar
kartun); dan sebagai karikaturis, mereka harus mampu ceriwis mengusili fenomena
dengan sentakan humor-humornya yang segar dan khas lewat dua tokoh kartun yang
bernama Benny dan Mice.
Kerja
bareng dua kartunis yang kompak dan tali-temali ini sungguh luar biasa. Setiap
minggu, sejak empat tahun lalu, mereka rutin mengisi rubrik kartun bertajuk
Benny & Mice di Kompas Minggu. Pilihan-pilihan tema, sudut pandang
dan struktur cerita, sejauh pengamatan saya, selalu baru dan beda.
Seandainya
ada pengulangan tema atau sudut pandang, itu karena alasan hangat dan kuatnya
radar aktualitas atas tema-tema dan sudut pandang yang terjadi pada masa
penyajian kartun. Meskipun begitu, tanggung jawab mereka untuk selalu tampil
kreatif, mereka buktikan dengan tidak melakukan repetisi ide atas tema dan
struktur cerita yang mereka sajikan.
Voltase gerrr
Akan
tetapi, satu hal yang tak dapat dielakkan adalah fakta bahwa voltase gerrr yang
muncul dari setiap tawaran/gagasan mereka, tak selalu ajek; kadang kuat, kadang
lemah, jadi fluktuatif, dan sangat bergantung pada kondisi atau situasi
tertentu.
Ini
konsekuensi logis pilihan isinya terkait dengan masalah tren, mode, fenomena
yang sedang in namun rentan perubahan. Kalau kemudian kartun-kartun yang semula
disiapkan untuk sesuatu yang berbau jurnalistik, hangat, dan aktual tetap dapat
“berbunyi” kendati telah melewati ruang dan waktu berbeda, itu semata karena si
kartunisnya lihai dalam memilih pendekatan. Kesan fenomena yang sebenarnya
temporer dan terbatas itu justru terasa seolah-olah universal. Seolah-olah
melibatkan emosi publik luas.
Kekhawatiran
yang acapkali terjadi ketika sebuah rubrik kartun rutin di sebuah media yang
kemudian dibukukan adalah hadirnya rasa datar karena bentuk lay out, teknik
penyajian, dan lain-lain, performance yang cenderung diulang-ulang, ternyata di
kumpulan kartun Benny & Mice hal itu tidak terjadi.
Setidaknya,
dua kartunis yang pernah menggarap seri Lagak Jakarta hingga enam judul
ini sudah sangat prepared. Bahwa kartun mereka yang dimuat di Kompas,
bukan tidak mungkin pada suatu saat berlanjut diterbitkan dalam bentuk buku;
maka, entah sengaja atau tidak, terdapat cukup banyak varian lay out dan
penyajian (khususnya proporsi gambar tokoh yang kadang tampak jauh, menengah,
dan dekat-dalam istilah sinematografi: long shot, medium shot, dan close
up); sehingga ketika potongan-potongan sajian ini dikumpulkan dalam bentuk
buku, terjadi suasana yang tidak flat, datar, dan menjemukan. Bahkan
dengan adanya pilihan tema dan pendekatan yang bervariasi dari sang kartunis,
kita serasa dibawa ke rekreasi optis-dibawa bertamasya dari situasi yang sarat
kekonyolan satu ke situasi yang lain.
Rela “Capek”
Kerja
dua kartunis yang saya anggap luar biasa adalah kesabaran dan kemauan mereka
untuk rela “capek”; mau menyajikan detail setting secara serius. Banyak
kartunis kita yang suka menghindar dari sulitnya menyajikan factual set
dan detail obyek di mana si tokoh berada.
Bukan
tak mungkin, keberhasilan komunikasi kartun Benny & Mice di antaranya
karena proses kreatifnya ditunjang oleh tradisi riset (literatur maupun on
the spot terjun ke lapangan). Mereka tak asal-asalan menyajikan mesin ATM,
mesin hitung kasir di toko swalayan, interior mobil yang memakai LCD TV, hingga
lalu lintas yang ruwet dan terkunci.
Pilihan
redaksi yang membagi bab dalam buku kumpulan kartun berdasarkan kesamaan tema,
di satu hal, memang memudahkan pembaca untuk memilih dan memulai; namun risiko
lainnya juga ada; yakni kemungkinan tergiringnya pembaca ke situasi yang
menjebak; yakni situasi yang datar tadi.
Salah
satu contoh bab tentang: Trend dan Mode. Dalam bab ini, kalau kita cermati,
kita jadi menemukan “modus operandi” si kartunis dalam menyajikan
gagasannya. Padahal, “modus operandi” atau rahasia resep dalam
menciptakan “masakan” yang oke itu tak layak kalau sampai kecolongan pihak
lain.
Kita
lihat misalnya bab tentang Trend dan Mode dari halaman 2 hingga 30, nyaris si
kartunis memakai jurus atawa “modus operandi” dengan menyajikan Si Benny
dan Si Mice jalan-jalan, mereka lalu melihat orang-orang lagi mejeng sesuai
dengan tren dan mode terbaru, pada akhirnya, arena-entah kritis atau
sirik-Benny dan Mice bersikap tak mau kalah. Mereka berusaha keras untuk
menjadi makhluk modis kendati untuk itu harus melakukan kekonyolan-kekonyolan.
Salah
satu yang cukup menyentak adalah saat musim flash disk dikalungkan di
leher, Benny dan Mice “menghantam” kegenitan itu dengan mengalungkan hardisk ke
leher sendiri. Motif serupa juga tampak saat mereka mengangkat topik gigi
berkawat, stiker mobil kena tembak, celana ketat bawah, tarif seluler murah,
video phone, dan lain-lain.
Secara
substansi ide-idenya menarik, tetapi karena berdekatan, tampak seakan sebuah
repetisi.
Ada tawa ada
renungan
Membaca
lengkap kumpulan kartun dua kartunis ini, kita dibawa masuk ke dalam
renungan-renungan. Ketawa, iya sudah pasti. Namun, tidak cukup berhenti di
tawa; kartun-kartun Benny & Mice, menyeret kita untuk ikut berpikir.
Tentang berpikir ini sudah tentu sesuai dengan relevansi kita masing-masing.
Gagasan-gagasan
yang di-”tembak”-kan dua kartunis ini berfungsi sebagai stimulus yang akan
merangsang perasaan intelektual pembacanya masuk ke dalam renungan-renungan;
renungan yang sungguh berbeda dan mengasyikkan. Karena sesekali ia dapat
membuat kita malu melihat diri kita sendiri.
Sikap
yang ditampilkan dua tokoh kartun yang bernama Benny dan Mice itu sepertinya
mewakili sikap kelompok masyarakat tertentu yang ada di Jakarta, sepertinya.
Namun bisa juga tidak mewakili siapa-siapa. Namanya saja dunia ide. Karya
cipta, rekaan.
Akan
tetapi, bila kenyataan yang terjadi dalam proses kreatif lain, sungguh fakta ini
cukup mencemaskan dan mendebarkan. Mencemaskan, kalau benar mereka ada;
bagaimana mungkin, mereka adalah korban doktrin berhala kehormatan dan
eksistensi yang bernama mode atau tren. Korban kasak-kusuk iklan. Bujuk rayu
“kapitalisme” yang seolah dapat mengantarkan masyarakat Jakarta, atau bahkan
masyarakat Indonesia, masuk ke dalam pintu gerbang eksistensi lewat aksi yang
bernama membeli. Ya, membeli apa saja yang ditawarkan tanpa harus berpikir
benda yang kita beli itu bermanfaat atau tidak.
Sikap
tak mau kalah dua tokoh kartun ini dan jalan solusi yang dipilih untuk memberi
pelajaran pada orang-orang snob seperti menggambarkan peta “pertarungan” pola
pikir masyarakat kita yang sebenarnya rasional tetapi tak berdaya, melawan
gempuran iklan yang tak kunjung lelah dan kapok. Pada akhirnya, iklan yang
terus-menerus hadir dan dirancang sedemikian efektif adalah juga sebuah doktrin
yang dapat memengaruhi, bukan saja pandangan hidup tetapi juga pilihan hidup
seseorang.
Dalam
kekalahan atau kemenangannya, dalam ketidakberdayaan atau keluguannya, mereka
tetap berani menghadapi gempuran-gempuran yang terus-menerus meneror mereka.
Benny dan Mice bukan menyerah atau menggampangkan persoalan, mereka justru
tampil dengan inspirasi-inspirasinya yang tak terduga; bahkan, perkasa. Ini
semboyan mereka yang tak gampang menyerah: silver bird atau bajaj. town house
atau kontrakan. tuna sandwich atau taoge goreng. senang. susah. life
goes on..!
0 Responses to "Kartun Benny & Mice: Meledek Gaya Hidup Snob"
Post a Comment