Megawati dan Kartunis


Non-O S Purwono
Darminto M Sudarmo – (Buku) ANATOMI LELUCON DI INDONESIA, Kompas, 2004

Boleh dong, sedikit berkilas balik dan membalik-balik sejarah. Setidaknya, sebelum Megawati sampai pada situasi dan kondisi saat ini. Anda akan mendapatkan simpul-simpul “lelucon” yang pasti sangat lain dari yang lain.

    SEJAK putri Bung Karno -- Megawati Soekarnoputri -- bergabung ke PDI, 1987, perolehan suara PDI pada Pemilu 1987, langsung terdongkrak. Ketua PDI saat itu, Soerjadi dan Sekjen Nico Daryanto tak pernah menduga Megawati yang semula dipasang sekadar buat menarik massa, ternyata berlanjut menjadi sesuatu yang tak terduga. Terutama sejak 100 orang fungsionaris PDI dan utusan dari 70 DPC PDI datang ke rumah Mega dan meminta dirinya bersedia dicalonkan sebagai Ketua Umum DPP PDI periode 1993-1998. Wouw!
    Menurut sahibul hikayat, sejak itu PDI menjadi “sungai” yang penuh dengan silang arus visi dan kepentingan. Ada arus yang mendukung Megawati, ada arus yang mendukung Soerjadi, sementara pemerintah menyiapkan arus sendiri dan ingin tampil kreatif; yang jelas bukan Mega maupun Soerjadi. Heboh, kan? Kata sahibul hikayat juga, PDI seperti partai eksperimental. Cap PDI sebagai partai yang jago ribut dan gontok-gontokan  nyaris lengket seperti perangko.
Nah (pura-puranya Anda mesti kaget), di sinilah, kunci penting peran para kartunis dimulai. Mereka, yang saat itu bekerja di berbagai media massa (koran dan majalah), juga kena imbas dari “konsisten”-nya tradisi PDI yang kala itu dikenal sangat gemar menyelenggarakan kongres. Setiap ada kongres langsung ditandingi dengan kongres lainnya. Begitulah gampangnya menyusun kata-kata. Terutama juga karena makin populernya nama Megawati yang bertengger di kepala kartunis. Tiap PDI geger, pasti terkait dengan Mega. Langsung maupun tidak langsung. Tiap nama Mega disebut (dengan nada melecehkan atau memuji), pasti terkait dengan PDI. Dan pasti itu juga terkait dengan Soerjadi maupun Budi Hardjono; tapi dalam kasus buku ini, peran mereka kita tempatkan saja sebagai figuran, oke? Oke? Walaupun harus kita akui, tekad mereka untuk menjadi pemain sandiwara berbakat sangat besar; itu pula yang acapkali bikin gemas para kartunis yang mampu “menerobos” peta politik Indonesia saat itu..Supaya terkesan serem, kita sebut saja Soerjadi sebagai agen dari “kepentingan tertentu” dan Budi kita juluki sebagai agen dari “kepentingan penguasa”; gagah, kan?
Well, supaya arah wacana ini tidak ngelantur ke mana-mana, mari kita kembali kepada yang berikut ini: kartunis. Isyu tentang Mega dan PDI itu bagi kartunis jelas tergolong “hidangan” yang sangat menggugah selera. Lezat dan gurih. Tapi itu juga sumber “bencana” buat para kartunis. Kok? Setiap Mega dan PDI muncul, apalagi kalau para wartawan mampu mendeskripsikan kondisi yang super kompleks dan ruwet yang ada di PDI itu dengan gamblang dan gemilang, mana mungkin para kartunis bisa tahan diri untuk tidak mencorat-coret kertas dan bikin karikatur? Tapi celakanya, energi kreatif yang sudah membakar sekujur tubuh sang kartunis, seringkali justru bisa menjadi berubah mentah dan useless gara-gara, koran atau majalah tempat mereka bekerja punya pertimbangan lain; yakni “tidak mampu” memuat karikatur itu. Ini beda dengan “tidak bisa” memuat, gitu.
Mengapa harus tidak dimuat? Mengapa koran/majalah punya pertimbangan lain? Karena substansi gagasan yang ditawarkan sang kartunis mencerminkan sikap “membela” pihak yang disia-sia dan menyerang pihak yang jumawa, lagi semena-mena. Begitulah nasib kartunis yang bekerja karena menggunakan hati nurani. Kondisi ini sebenarnya juga merupakan indikasi dari situasi makro yang ada dan dialami di seluruh manusia Indonesia.
Orang-orang yang mengambil sikap jujur dan punya komitmen pada hati nurani, banyak yang berguguran karena parameter tentang “baik” dan “buruk” termasuk yang berkembang secara “semu” di masyarakat  ternyata sangat bergantung pada bagaimana mood  dan maunya penguasa yang ada kala itu. Akhirnya seperti halnya manusia Indonesia lainnya, para kartunis juga ada yang menempuh strategi berjuang dengan cara kooperatif, ada yang pura-pura tidak mendengar hati nuraninya sendiri dan sekadar mau cari selamat tapi punya nafkah, ada pula yang memilih ganti haluan menjadi seorang aktivis lalu bergabung dengan LSM tertentu.
Ini semua fakta yang manusiawi, kan? Kita semua mengalaminya, merasakannya sesuai dengan bidang kesibukan kita masing-masing. Kita sudah cukup bersyukur kartunis masih waras, tidak frustrasi lalu ganti profesi jadi garong atau penjarah negara. Kalau itu yang terjadi, wouw! Orang Sunda bilang, pan goreng, atuh; ya, nggak?
Seperti halnya wartawan, kartunis juga punya privilege; atau sebutlah semacam Kartu As, untuk mendikte dan mengarahkan opini publik. Tetapi, kalau mereka harus berhadapan dengan orang-orang yang berjenis kelamin “low politics” lalu siapa yang peduli pada nasib dan keselamatan mereka? Siapa yang merasa kehilangan kalau kartunis tertentu tiba-tiba lenyap kayak nasib 14 nama aktivis yang belum clear sampai sekarang?
Memang di kalangan kartunis ada organisasi atau paguyuban atau komunitas, tapi ya itu tadi, namanya paling banter organisasi kebudayaan. Bukan organisasi politik. Tidak ada paket kurikulum standar yang diberikan buat para kartunis untuk menjadi “makhluk” militan, tahan banting, tahan siksa fisik dan batin, tahan teror, tahan represi mental dan sebagainya; apalagi kurikulum sekelas pejuang bawah tanah. Di atas tanah saja mereka banyak yang sulit bernafas.
            Sebenarnya tak adil juga kalau ada orang yang terlalu berharap agar kartunis bisa berbuat sedemikian berani, heroik, memiliki sentilan yang tajam tapi bermutu, kritis pada setiap kepincangan; sementara itu, para anggota DPR, yang jelas-jelas dipilih dan digaji rakyat sangat gede khusus untuk melakukan itu, tidak pernah dipersoalkan dan dibawa ke forum “pengadilan hati nurani rakyat” meskipun sebagian besar karyanya  hanya berupa teriakan yang berbunyi: Setujuuuu! Tentu saja ada anggota DPR yang baik dan oke punya, tapi itu dia nasibnya: ditarik ke partai, di-recall atau diBambangwarihkan. Judeg kan, rakyat melihat itu semua.
            Meskipun pers di masa Orde Baru tergolong tak banyak, ternyata bisa juga didapatkan karikatur tentang Megawati dan PDI yang jumlahnya tidak begitu mengeecewakan; Setidaknya sejak tahun 1993 hingga situasi paling mutakhir. Tak terduga, jumlah itu, dicampur dengan jumlah karikatur yang dimuat di masa pers pasca Soeharto lengser, terkumpul materi tak kurang dari 400 gambar karikatur yang sudah pernah dimuat di berbagai media yang ada. Bukan main; ini jumlah yang mencengangkan. Bagaimanapun peristiwa yang dialami Megawati, ternyata tidak sekadar berlatar belakang fakta sejarah, tetapi juga berlatarkan "Pentas Dagelan" politik para penguasa yang amat canggih dan lucu. Kadang, bahkan lebih "lucu" daripada karikatur yang dibuat para kartunis.
            Akhirul kata, what ever have been, have been-lah. What ever will be, ya, kita harapkan dapat ditarik semacam benang merah “kebajikan” atau semacam “pencerahan” bagi kita semua agar terhindar dari perilaku sejarah yang agak “porno” semacam itu.

deMes

0 Responses to "Megawati dan Kartunis"

Post a Comment