Kartun Tenggang Rasa ala GM Sudarta

GM Sudarta by Djoko Susilo

Darminto M. Sudarmo, SUARA MERDEKA, Minggu II,  Mei 1987

KARIKATUR adalah bagian dari seni grafis. Di Indonesia, secara salah kaprah sudah diidentikkan dengan tajuk rencana dalam bentuk gambar lucu. Menghadapi karya karikatur, orang selalu mempersiapkan diri agar memperoleh opini dan kelucuan. Karena itu karikatur yang tak ada opininya, bisa “dituduh” sebagai kartun murni (gag cartoon). Begitu pula bila tidak ada kelucuannya, bisa dikatakan sebagai pamflet atau poster.
Dalam karya karikatur pula selalu ada totalitas dari kompleksitas permasalahan. Saat beropini, misalnya, cenderung memilih jurus logika balik atau antitesa;  dimaksudkan sebagai peringatan pertama akan adanya suatu ketidakberesan yang mungkin terjadi, atau sekadar menyampaikan masalah yang sedang hangat ke permukaan.
Proses pengolahan karya karikatur, esensinya memadukan unsur wartawan, seniman dan intelektual. Di mana, informasi diolah oleh proses opini intelegensia, lalu dikemas dalam sajian kreativitas seorang seniman. Yang harus memperhitungkan unsur-unsur estetika.
Membicarakan karikatur dan renik-reniknya, bakal semakin menarik bila kita meminta pendapat dan pandangan kartunis senior Indonesia, yang tak lain, GM Sudarta. Tokoh yang sering diidentikkan dengan Oom Pasikom ini, memiliki sudut pandang cukup unik. Beberapa di antaranya telah menukik ke esensi kesenian, dan kesenimannya.
GM Sudarta, kartunis Indonesia yang telah sanggup menyabet empat kali hadiah Jurnalistik Adinegoro (pemenang I, termasuk untuk tahun 1986). Sementara penghargaan lain yang dikumpulkannya antara lain, pemenang II Jurnalistik Adinegoro (tahun 1985), hadiah II Karikatur PWI (“67), hadiah I Karikatur Bhayangkara (“67), hadiah Kalam Kencana dari Dewan Pers Nasional (“71), dan hadiah I Hari Pendidikan Nasional, bidang karikatur (1986).
Di tahun-tahun kemudian, (2004-dms), ketika  penghargaan dan pengakuan nasional/internasional sudah melekat pada diri GM Sudarta, maka tak relevan lagi, menyoal deretan prestasi seperti di atas. GM Sudarta adalah salah seorang maestro kartunis Indonesia; dan itu berarti sudah menjelaskan keseluruhan perjalanannya.
Melihat prestasinya yang menggetarkan ini, kita rasanya jadi cingak setelah mengetahui pengakuannya yang rendah hati. Bahwa hidupnya, tidak pakai idealisme apa-apa. Cukup merasa berbahagia bila bisa berbuat sesuatu yang bermanfaat bagi masyarakat. Dia juga tak risau mempersoalkan apa itu masa depan. Baginya, masa depan adalah hari ini. Mau apa sih sebenarnya kita hidup? Dia bertanya, yang kemudian dijawab sendiri, bahwa dia tidak mau ngoyo, ibaratnya kehidupan itu arus sungai, maka dia lebih suka memilih ikut arus itu, asal jangan sampai hanyut. Toh, semua akhirnya juga ke laut.
Di samping seorang kartunis, GM Sudarta juga menyempatkan diri menulis dalam bentuk buku. Selain “Indonesia 1967-1980”, kumpulan kartun yang juga diterbitkan dalam edisi bahasa Jepang dengan judul Pasikomu Ojisan, antara lain dia menulis Smiles in Indonesia bersama OG Roeder, Seni Lukis Bali dalam Tiga Generasi, dan terakhir dalam persiapan, Inside Indonesia juga bersama OG Roeder.
Berbicara soal karikatur, GM Sudarta punya pandangan sebagaimana dituturkan di bawah ini.
Menikmati karikatur adalah menyimak wajah kita sendiri. Kedewasaan kita bisa diukur sejauh mana kita bisa menertawakan diri kita sendiri. Sementara orang masih mengatakan bahwa dunia karikatur kita belum matang. Ini ada kaitannya dengan kehidupan kritik dan pers kita. Tapi apakah benar demikian?

Mati Ketawa Cara Indonesia
Suatu kali kita lihat karikatur karya T. Sutanto yang terbit di Mingguan Mahasiswa, Bandung, pada tahun enampuluhan. Digambarkan di sana seorang anggota ABRI berjalan beriringan dengan mahasiswa dalam langkah serempak. Hanya saja bayonet sang ABRI menghadap ke belakang, ke arah sang mahasiswa. Karikatur yang tajam, sekaligus mengundang senyum yang getir. Kemudian kartunis-kartunis besar di zaman permulaan Orde Baru, seperti Sanento Yuliman, Hariadi S. Keulman, menghadirkan karya-karyanya yang tajam selain di Mingguan Mahaiswa juga di Harian Kami.
    Periode di atas mungkin bisa dibilang periode zaman emas kritik dalam karikatur, kalau ukurannya adalah ketajaman dan keberanian. Tapi yang kita lihat kemudian adalah senyum getir bahwa dua media massa tersebut ditambah beberapa lainnya, harus tewas (korban mati ketawa cara Rus, eh, Indonesia).
Akhirnya GM Sudarta berkesimpulan, setidaknya bagi diri sendiri, bahwa mawas diri dan tenggang rasa dalam penyampaian kriktik adalah perlu. Tidak usah presiden, menteri, jenderal, atau para pejabat lain, kita sendiri pun bila dikritik juga punya kecenderungan untuk marah. Apalagi kalau kritik itu destruktif, atau tajam menusuk.
Untuk menanggulangi hal yang tak diinginkan itu (bagaimana pun kita hidup di alam budaya timur, entah kalau barat), maka dia menggunakan strategi tepo sliro, agar bisa membuat sebuah karikatur yang baik. Dalam arti, mempunyai kadar humor, kadar estetika gambar-menggambar, dan kadar pesan kritik. Serta kena sasaran, artinya misi yang disampaikan selamat ke tujuan, tidak ada beban saling curiga atas iktikad kritik tersebut. Sehingga hasil akhir dari strategi yang dimaksud adalah mampu menghadirkan senyum untuk semua. Baik yang mengkritik maupun yang dikritik, demikian pula masyarakat penikmat, terwakili aspirasinya.
Menurut GM Sudarta strategi dan syarat itu cukup sulit dan absurd, tapi begitulah Indonesia. Bila pers harus menjadi pers Pancasila, maka karikatur juga harus menjadi karikatur Pancasila.

Karikatur di Indonesia

Indonesia memiliki kartunis banyak. Juga punya sejarah yang cukup unik. Menurutnya, bapak kartunis Indonesia adalah Bung Karno, karena di tahun tigapuluhan, karya karikaturnya muncul di Fikiran Rakyat, sejalan dengan semangat “kebangkitan nasional” waktu itu. Kemudian disusul nama-nama besar seperti Sibarani, Harmoko (Menpen), Sam Suharto dan seterusnya.
Hingga kemudian sampailah pada peiode mutakhir. Trio kartunis jempolan yang dimiliki negeri ini tiada lain selain, Pramono, GM Sudarta dan Dwi Koendoro. Tiga orang ini bahkan menandai juga era keemasan menjamurnya iklim kreativitas, dan munculnya kader-kader kartunis yang baru. Lalu ada Thomas Lionar, Tony Tantra dan masih banyak lagi yang lain.
Peta perkartunan di Indonesia memang bagai satu tarikan garis, dari Bangka, Jawa hingga Bali. Tapi bila diteliti secara cermat, jumlahnya mungkin tak kurang dari 200 orang. Dari jumlah itu yang terbanyak adalah Jawa Tengah. Dengan karya-karyanya yang mendominasi media penerbitan di ibu kota.
Melihat iklim tersebut, GM Sudarta tetap optimistis bahwa kelanjutan dari semua ini akan sampai pada prospek yang menggembirakan. Salah satu tanda, banyak para pejabat dan orang-orang yang selama ini sering dijadikan obyek karikatur atau kritik, tetapi ternyata sekaligus juga sebagai kolektor yang baik gambar-gambar dirinya yang dibikin pletat-pletot itu.
Juga beberapa media, yang selama ini menyediakan ruang kartun sebagai stopper alias pengisi halaman kosong, banyak yang membuka semacam rubrik khusus yang menampung para kartunis free-lancer mengekspresikan karya-karyanya.
Tak terkecuali, Kedai Senyum, Ancol, bisa dijadikan semacam salah satu tolok ukur mengenai minat masyarakat terhadap kartun atau karikatur. Sebab penggemar yang menginginkan wajahnya digambar secara kartunal atau karikatural tak sedikit jumlahnya. Malah ada pula restaurant yang memajang gambar orang-orang terkenal yang pernah singgah ke tempat itu. Bukankah ini satu isyarat, bahwa prospek kartunis maupun perkartunan di negeri ini cukup baik.
Sebagaimana dituturkan di muka, GM Sudarta, merasa hidup bagai mengikuti arus sungai ke mana air mengalir, tak punya idealisme yang macam-macam, dan apa yang dilakukannya selama ini karena desakan kebutuhannya untuk hidup, untuk makan dan seterusnya, tetapi sebagai manusia dia telah berbuat lebih. Baik dalam bidang jurnalismenya maupun sebagai seniman, apalagi sebagai intelektual. Kita lihat karya-karyanya, tak cuma menyiratkan pesan politik eksplisit, tetapi bahkan juga implisit filosofis.
Benaknya bersusun-susun dengan aneka kreasi, kadang riang penuh gelak jenaka, kadang pula halus menukik, menelusur ke celah-celah nilai. Di dalam bidang jurnalistik, ada kita  kenal nama Gerson Poyk, yang semangat kewartawanannya menggetarkan, tak cuma meringkuk duduk di belakang meja, tetapi mau bergerilya masuk dalam belukar kata-kata. Di bidang karikatur, salah satu di antaranya, tentu GM Sudarta.
Bahkan, setelah sukses dengan pamerannya yang bertemakan, “Yang Cantik di Mata Saya”, GM Sudarta tengah mempersiapkan pameran berikutnya yakni, “Seni Rupa Rupa”. Seperti apa bentuknya? Kita tunggu saja.
Sekaligus, dalam kesempatan ini, saya mengucapkan selamat atas kemenangannya meraih hadiah I Jurnalistik Adinegoro untuk bidang karikatur tahun 1986.



deMes

0 Responses to "Kartun Tenggang Rasa ala GM Sudarta"

Post a Comment