Aneka Lomba Kartun di Indonesia dan Mancanegara

Toni Hariyanto

Darminto M Sudarmo - SUARA MERDEKA, Sabtu, 29 November 1986. 


Cartoons are an “international language” loved by everybody in the world!

Demikian salah satu semboyan orang tentang kartun. Kartun adalah bahasa dunia, disukai oleh setiap orang di seluruh dunia. Kemudian semboyan itu mulai dikhususkan lagi, cartoons are the art form or humor and satire. Kartun adalah bagian dari seni berlucu-lucu dan berolok-olok.
Oleh karena kartun memiliki karakteristik yang khas demikian, maka tak aneh bila orang perlu mengangkat harkat dan kedudukannya sesuai dengan porsi dan proporsi yang ada. Kartun lalu ditempatkan sebagai salah satu seni berlucu-lucu dan berolok-olok, naik dengan kata-kata maupun dengan gerakan-gerakan.
Tetapi kartun harus melewati media visual tertentu. Salah satu di antaranya yang populer hingga kini lewat grafis. Untuk itu, para kartunis, setidaknya perlu memiliki semacam dasar pengusaan “drawing” (menggambar) yang benar. Benar di sini, tidak berarti aneh-aneh. Cukup bila sang kartunis berkeinginan menggambar kuda, lalu dia goreskan penanya, kemudian orang menyetujui bahwa hasil goresan kartunis itu adalah kuda. Bukan singa, bukan badak. Inilah yang tidak benar. Untuk tercapainya komunikasi  “bahasa dunia”, kartunis harus tunduk pada hukum universal.
Setelah drawing mahir, kartunis boleh-boleh saja mau bikin sajian menurut selera artistiknya seprima nungkin. Asal jangan ikut-ikutan orang yang sudah eksis. Sebab salah satu hal yang agak menolong harkat seorang kartunis, adalah kemampuannya untuk tampil dengan membawa ciri khas.
Lalu? Inilah yang sesungguhnya wajib dimiliki oleh para kartunis. Yakni kemampuannya melahirkan ide-ide baru dan segar. Melawak di panggung dan di gambar, tentu lain. Seorang kartunis yang tak ingin kehabisan ide, akan terus berusaha mengisi otaknya dengan bahan-bahan, sehingga memungkinkan dirinya mengolah dan memformulasikan idenya secara ajeg dan lancar. Cara mengisi otak itu, konon tidak sukar. Tidak macem-macem, tidak neko-neko, cuma belajar. Apa sulitnya belajar? Belajar tentang apa? Tentang hidup dan kehidupan. Rajin mengamati gejala. Rajin membaca. Dan menempatkan diri sebagai pelahap segala macam informasi maupun berita, secara kontinyu dan up to date.
Emang perlu membaca segala? Secara gurau boleh dikatakan, ibaratnya tak ada buku yang bakal sia-sia bila dibaca kartunis. Sebab itu akan membantu perluasan perspektif dan wawasan si kartunis, dalam rangka mengasah intelejensia.

Kartun yang Dilombakan

Setelah itu semua dimiliki, lalu apa yang dikerjakan seorang kartunis? Kalau dia cuma butuh sekadar ekspresi, tidak salah bila dia berkarya lalu hanya disimpan buat dinikmati sendiri. Disimpan di laci atau ditempel di dinding. Atau dikirim buat kado sang pacar. Tetapi lebih bagus lagi, bila dia mau membagi kegembiraan dan kelucuan yang dia buat untuk juga bisa dinikmati oleh kalangan yang lebih luas. Siapa tahu bisa membantu para psikolog dan psikiater mengurangi gejala stress yang banyak diderita oleh orang modern.
Salah satu cara yang lazim, biasanya para kartunis mengirimkan karyanya ke berbagai media yang dia sukai. Atau yang dipertimbangkan mau memuat karya yang dia kirimkan. Ini kebiasaan kartunis Indonesia. Kartunis mancanegara, konon sudah lebih profesional. Ada yang bekerja sama dengan lembaga semacam syndicate yang membeli dan menjual kartun dari kartunis seluruh dunia.
Selain itu, ada pula kartunis yang mengikatkan diri pada salah satu penerbitan. Yang kemudian hanya mempublikasikan karya-karyanya lewat media yang membayarnya.
Berkembangnya zaman dan keinginan masyarakat, tempat untuk ekspresi kartun ternyata tak cukup dari media semacam koran atau majalah saja. Tetpi ada juga yang menempuh lewat pameran. Ajang unjuk kreasi dalam pameran.
Secara teknis (cara pengemasannya) memang lain, bila dibanding dengan kartun-kartun yang hendak dikirim ke media massa. Dalam arena pameran kartunis harus mempertimbangkan unsur show, sehingga karyanya tak sekadar menggelitik, tetapi juga bikin hati penonton resep saat menikmati.
Makin berkembang lagi tuntutan dan keinginan masyarakat; akhirnya kreativitas digugat. Salah satu modusnya, lewat kompetisi atawa lomba. Terbuka maupun tertutup. Sejarah lomba kartun di negeri kita belum berusia lanjut. Bahkan masih sangat muda. Sebagian besar diadakan oleh media penerbitan. Seperti misalnya Sinar Harapan, Intisari, dan lain-lainnya. Belakangan Suara Merdeka tengah bikin “gara-gara” yang serupa bekerja sama dengan salah satu produk jamu tradisional.
Meskipun demikian, toh masih ada orang bertanya, untuk apa lomba semacam itu diadakan? Setelah menang karyanya hendak diapakan? Kartunisnya hendak diapakan? Dan sebagainya dan sebagainya. Seperti yang kita ketahui bersama, salah satu tujuan diselenggarakannya lomba kartun adalah untuk merangsang kreativitas anak muda (masyarakat) dalam mengisi kegiatan positif.

Lomba di Mancanegara
Berbeda dengan lomba kartun di dalam negeri, lomba kartun di luar negeri dipersiapkan secara matang dan profesional. Hasil dan target yang hendak dicapai juga menyangkut unsur komoditinya.
Kita ambil dua contoh strategi dan pelaksanaan lomba kartun tingkat dunia yang dilaksanakan oleh Wereld Kartoenale Knokke-Heist (Belgia) dan The Yomiuri International Cartoon Contest (Jepang).
Wereld Kartoenale Knokke-Heist (WKKH) misalnya, pada tahun delapan puluh enam ini telah melaksanakan kegiatan lomba kartun internasional yang ke-25. Secara ajeg dan tepat diadakan tiap tahun sekali. Diikuti oleh kartunis seluruh dunia. Pada 1986 ini tak kurang dari 47 negara yang ambil bagian. Dengan jumlah karya lebih dari 3.500. Kemudian diseleksi, 600 buah dipamerkan, 18 pemenang yang dijagokan untuk berbagai kategori.
Juri yang dilibatkan pun tak tanggung-tanggung. Sepuluh orang, dari berbagai negeri. Bukan cuma cari orang yang paling dekat dengan dunia kartun, tetapi ada pula juri yang diambil dari disiplin “ilmu” yang rada aneh. Luc De Wandel, dia menjabat sebagai Advertising dan Sales Promotion Manager “Toyota”. Ada juga yang menjabat sebagai seorang profesor pada salah sebuah perguruan tinggi. Juga ada bekas pemenang lomba kartun pada tahun sebelumnya.
Juri yang heterogen tersebut bukan saja memungkinkan tercapai hasil secara obyektif, tetapi juga mewakili dinamikanya unsur-unsur apresiasi. Sehingga garis-garis penjurian mereka menampakkan warna kreatif dan toleran. Sebab pada kenyataannya, para pemenang yang sempat lolos dari penjurian justru jenis kartun yang tergolong amat serius dan bikin dahi makin berkerut.
Bahkan tak urung banyak yang membersitkan warna filosofis dan mengundang rasa haru. Salah satu contoh pemenang medali emas untuk tahun “86, karya Mikhail M. Zlatkovsky, menggambarkan sepasang suami istri berpelukan dengah penuh kesedihan  di bawah tugu peringatan yang masih kosong. Kaki suami yang satu sudah mulai menginjak kaki tangga yang tersender pada tugu itu. Sementara sang anak, satu-satunya, menggapai-gapai ingin juga memeluk sang ayah.
Bagi orang tertentu, kartun ini mengundang persepsi yang bukan lagi guyon,  tetapi justru amat serius. Bagaimana kita akan tertawa melihat perpisahan suami istri dan anak. Sementara sang suami, si tentara, siap melaksanakan tugas untuk naik ke puncak tugu dan ber-on stage sebagai patung. Kartun ini sangat menyentuh perasaan; menggambarkan pergulatan batin keluarga prajurit, yang hidupnya seakan hanya disiapkan untuk menjadi patung monumen (gugur dalam pertempuran).
 Lalu apa yang dilakukan oleh WKKH, setelah karya perserta terkumpul dan terinventaris? Selain dipamerkan, juga dicetak dalam katalogus (jumlah halaman dan kemasan serius) sekian karya yang pantas untuk dimediakan. Kemudian dijual kepada khalayak, dengan harga yang tidak murah (bagi kita).
Mengapa pola komoditif demikian kita anggap sebagai acuan profesional? Sebab dengan pola semacam itulah WKKH mampu hidup dan langgeng dalam upayanya menciptakan iklim kompetisi di bidang seni kartun, bagi kartunis seluruh dunia.
Kita harus mengakui, jenis-jenis lomba yang kita adakan masih temporer dan insidental.
Lalu bagaimana dengan The Yomiuri International Cartoon Contest (YICC)? Usia lomba dari penerbitan koran terbesar di Jepang ini memang belum begitu lama. Pada “86 ini merupakan tahun ketujuh (untuk tema-tema terikat). Kendati demikian respon peserta tak kalah meriahnya. Pada tahun terakhir, peserta yang masuk tak kurang dari 57 negara dengan jumlah karya lebih dari 10.293.
Hampir senada dengan WKKH, YICC juga memilih berbagai kategori dan tingkatan pemenang. Tema yang dilombakan terbagi dua. Terikat dan bebas. Untuk yang terikat ditentukan oleh panitia. Lalu para kartunis mengolah dari tema yang sama. Juri yang dilibatkan memang lebih banyak (14 orang) tetapi dalam beberapa hal (background culture) misalnya, tampak agak monoton. Karena semua juri dari orang Jepang sendiri. Meskipun demikian kartun-kartun yang dinobatkan sebagai pemenang tak kalah menggelitik. Dan tak kalah mutu penggarapannya.
Eiji Takano, misalnya, pemenang Grand Prize, salah satu hadiah paling bergengsi, menampilkan kartunnya yang khas. Menggambarkan suasana pesta para ekskutif (pesta berdiri) dan terlihat mereka tengah asyik ngobrol sambil membawa minuman masing-masing.
Bila berhenti di sini, maka tak ada sesuatu yang layak dinikmati. Tetapi Eiji mampu membuat kejutan, kepala ekskutif itu terdiri dari obeng yang memisah dalam dua kelompok. Kelompok pertama, sebelah kiri, orang bertanda negatif (-); sedang kelompok kedua, sebelah kanan, bertanda positif (+). Kartun ini asosiatif, karena itu persepsi bisa berkembang sesuai latar belakang penikmatnya.
Untuk pemenang tema terikat (suara), medali emas, diraih oleh Chen Shu-Bin, kartunis dari RRC. Idenya sederhana dan mudah ditangkap. Digambarkan, di sebuah areal bekas hutan yang telah terbabat habis (tinggal tonggak-tonggaknya saja), enam orang pekerja tampak terpesona mendengar kicauan seekor burung yang nongkrong di dalam sangkar yang digantung pada seonggok ranting yang ditancapkan. Para pekerja itu begitu khikmad dan penuh penghayatan menikmati suara burung yang alamiah itu.

Bukan Segala-galanya
Perbandingan ini tidak ingin untuk memanas-manasi suasana. Tetapi satu hal yang bisa kita tarik dari itu adalah profesionalisme mereka. Kesungguhan dan kontinyuitasnya. Kerja seperti itu memang tidak mudah. Ada kabar burung yang mengatakan bahwa penyelenggara lomba kartun semacam WKKH juga disponsori oleh sebuah lembaga lotere nasional (di Indonesia semacam Nalo, Pornas dan lain-lain), tetapi andaipun itu benar, sejauh ini, sponsor itu tidak pernah mengganggu wilayah tema apalagi, estetika.
Lomba kartun tingkat internasional untuk Indonesia, bukannya mustahil diselenggarakan. Penerbitan-penerbitan besar, sebenarnya punya kewajiban moral untuk menyelenggarakannya. Itu sebagai tanda “politik balas budi” kepada publik pembaca, yang telah sekian lama setia dan mempercayai jasa penerbitannya.

deMes

0 Responses to "Aneka Lomba Kartun di Indonesia dan Mancanegara"

Post a Comment