Apakah Pakarti Masih Dibutuhkan?
Darminto M
Sudarmo, Kartun Indonesia Banget,
Senin, 25 Mei 2009
Pada 12 hingga 17 Desember 2009, Pakarti
(Persatuan Kartunis Indonesia) mengadakan pameran kartun nasional dan diskusi
dengan tema: Indonesia di Mata Kartunis,
di Monumen Pers, Solo, Jawa Tengah, dalam rangka ultah-nya yang ke-20.
Pertanyaan sederhana yang muncul adalah,
apa sebenarnya Pakarti itu? Pakarti
adalah Persatuan Kartunis Indonesia (Indonesia Cartoonist Association). Dapukan (set up) awalnya dimaksudkan sebagai organisasi profesi para kartunis
Indonesia. Kalau para dokter punya organisasi profesi bernama IDI (Ikatan Dokter Indonesia), insan
perfilman punya Parfi (Persatuan
Artis Film Indonesia) dan para pelawak punya Paski (Persatuan Seniman Komedi Indonesia), maka Pakarti adalah
tempat bernaung dan berlindungnya para kartunis Indonesia dalam menjalankan
profesinya.
Bernaung dan berlindung artinya, kalau ada
kartunis tidak bener (melanggar kode etik dalam menjalankan profesinya sehingga
merugikan orang lain dan membawa masalah dalam organisasi), maka Pakarti selaku
organisasi wajib “membina” kartunis bersangkutan; kalau ada kartunis yang kena
perkara ketika menjalankan profesinya; misal kena somasi atau tuntutan pihak
lain yang salah paham atau tersinggung karenanya, maka Pakarti wajib memberikan
advokasi, pembelaan hukum lewat pengacara atau pembela yang direkomendasikan.
Kalau Pakarti hanya berpikir bahwa yang
disebut aktivitas itu adalah Lomba dan Pameran Kartun, itu tidak salah. Tetapi
sebagai organisasi berkapasitas nasional, dua item kegiatan di atas itu terlalu
remeh dan cukup dilakukan oleh Koordinator Bidang, yang dibawahi Pakarti.
Sebagai organisasi profesi cakupannya sangat luas; menyangkut filosofi,
ideologi, visi dan misi organisasi, kode etik, hingga kontribusi riilnya dalam
masyarakat.
Salah satu yang unik dari organisasi ini,
pencetusnya justru muncul dari seorang menteri pada zaman Orde Baru: Ismail Saleh, SH. Pakarti secara nyata
dideklarasikan pada 1989 di Ancol, Jakarta. Terpilih sebagai Ketua Umum Pramono R. Pramoedjo untuk masa
kepengurusan 1989-1994. Pada 1994, diadakan Munas (musyawarah nasional) di
Yogyakarta untuk memilih Ketua Umum Pakarti periode 1994-1999; Pramono R.
Pramoedjo terpilih lagi.
Tetapi entah karena situasi makro atau
mikro Indonesia yang lagi kurang nyaman, tahun 1999 tak ada munas atau
penegasan pertemuan mengenai status kepengurusan Pakarti periode 1999-2004.
Sehingga secara de facto maupun de jure, pada periode suwung itu Pramono R. Pramoedjo yang
terpaksa menjalankan aktivitas organisasi; itupun kalau ada aktivitas yang
signifikan. Saya juga heran, selain Pramono sebenarnya ada Wakil Ketua Umum,
ada Sekretaris Jenderal, ada Pengurus-pengurus Daerah, ada Ketua Bidang yang
jumlahnya nyaris belasan; tetapi anehnya kok tidak ada satu “Pejabat” Pakarti
–pun yang mengingatkan pentingnya Munas pada tahun 1999 itu atau ngobrol ringan
yang intinya adalah membahas kelangsungan setelah masa jabatan Pramono yang
kedua habis (batas masa jabatan dalam AD-ART setiap individu adalah dua kali).
Jadi kesimpulan saya; nyaris sebagian besar kartunis Pakarti itu “kurang gaul”
dalam organisasi; tak paham apa artinya AD-ART, tak mengerti aturan main
organisasi khususnya mengenai kewajiban dan hak; karena fakta membuktikan,
periode 1999-2004, masuk kategori suwung legitimasi
dan legalitas. Tetapi, tetapi lagi nih, kalau Pakarti hanya mau bersemangat
organisasi cemen, kecil-kecilan tingkat regional atau lokal dan segmented, ya tidak perlu saya
capek-capek mikir dan nulis ini; tetapi karena sejak pendiriannya memang di-set-up dan disepakati untuk menjadi
organisasi profesi kartunis Indonesia, saya hanya dapat berdoa dan berharap,
semoga di masa mendatang dengan adanya personel-personel muda, Pakarti dapat
menjadi sebuah organisasi kartunis yang memang diakui dan didukung oleh para kartunis
Indonesia secara serius dan open minded.
Perjalanan waktu kemudian juga mencatat,
periode kepengurusan Pakarti tahun 2004-2009, saya tidak peduli bagaimana
mekanisme pemilihannya, tersebutlah nama Jango
Pramertha sebagai Ketua Umum Pakarti yang deklarasinya diselenggarakan di
Bali. Penuh optimistime dan harapan, itu terlihat dari wajah sumringah para
kartunis yang hadir dan menyaksikan prosesi
penobatan pengurus Pakarti periode tersebut. Apalagi Bali bagi sebagian
besar kartunis Indonesia merupakan pintu gerbang internasional; sehingga layak
bila dengan ditempatkannya Pakarti di Bali akan dapat membuka akses
internasional; itu artinya, akses bagi para kartunis Indonesia untuk dapat
menikmati kelanjutan dari jejaring tersebut. Apakah itu dalam bentuk
sosialisasi atau peluang-peluang lain yang pada dasarnya bakal meningkatkan
harkat dan martabat kartunis Indonesia di mata dunia.
Tetapi, lagi-lagi tetapi, bahwa berbuat
memang tidak semudah kita berkhayal atau berimajinasi. Harapan dan angan-angan
dapat saja setinggi langit, tetapi fakta adalah fakta; yang akan bicara apa
adanya. Dan di luar arus organisasi Pakarti, ternyata kita dapat melihat bahwa
kartunis Indonesia toh tetap saja melakukan rutinitas “takdir” yang melingkupi
dirinya; yaitu, berkarya, mengirim karya itu ke media atau ke penyelenggara
lomba, atau membuat ilustrasi untuk proyek-proyek buku; mungkin sebagian lain
ada yang sibuk di animasi, dan lain-lain. Kata kartunis yang dimaksudkan di
sini adalah kartunis yang tidak organik dengan suatu institusi penerbitan atau
bisnis lain. Mereka yang orang menyebut freelancer; yang bisa makan kalau ada kerjaan; yang tidak
tahu bisa makan atau tidak kalau tidak ada karya yang dimuat, tidak ada honor
yang datang, tidak ada karya yang menang di lomba dan lain-lain.
Sementara itu para kartunis yang masuk
kategori “papan langit”, seperti GM Sudarta, Pramono, Dwi Koendoro, Priyanto S
dan lain-lain praktis sedang disibukkan oleh rutinitas mereka sendiri dan
sekian agenda yang bertumpuk-tumpuk. GM Sudarta kini sibuk mengajar di sebuah
universitas di Jepang. Pramono dan Priyanto sibuk mengintensivikasi Museum
Kartun Indonesia Bali; Dwi Koendoro selain usreg dengan Panji Koming-nya juga ada beberapa agenda yang terkait tidak selalu
sama kartun, tetapi itu sangat menyita waktunya sehingga praktis mustahil ada
kartunis muda yang bisa sambat: “Mas, sudah lima hari ini, saya gak dapat honor
sehingga tak bisa kasih belanja buat anak istri....”
Relevan atau tidak relevan, sih, bicara
seperti ini? Organisasi kayak Pakarti tak ada kaitannya dengan urusan rumah
tangga dan kesejahteraan kartunis. Benarkah?
Menjadi kartunis adalah sebuah pilihan
profesi; sebenarnya sama saja dengan
menjadi yang lain: makelar, tukang becak, sopir, pemborong, wartawan, dalang
wayang kulit, pelukis, pengamen, kondektur, pegawai negeri, buruh pabrik,
manajer perusahaan, direktur, dokter, bintang film atau apapun! Setiap pilihan
selalu ada konsekuensinya: sisi plus dan sisi minusnya. Karena memang begitulah irama hukum alam atau hukum
keseimbangan yang harus diterima. Bahasa kerennya, hokum kasualitas obyektif.
Di Kokkang (Kelompok Kartunis Kaliwungu),
salah satu paguyuban kartunis yang nyata-nyata masih survive, dapat anda observasi apa yang dirasakan tiap-tiap
anggotanya. Senang atau tidak senangkah mereka menjadi kartunis? Sebagian ada
yang nyambi jadi pegawai bank, guru, buruh pabrik
atau pekerja serabutan; tetapi sebagian yang lain, benar-benar hidup dari
mengartun atau menggambar kartun.
Persoalan serupa dapat pula anda tanyakan
kepada kartunis Jitet Koestana (yang
nyaris menjadi langganan sebagai pemenang di berbagai lomba internasional
dengan hadiah ribuan dollar/puluhan juta rupiah) padahal sebagai kartunis Kompas, semestinya ia sudah dapat hidup
nyaman; tetapi mengapa rutinitasnya dalam berkarya untuk diikutkan di lomba
kartun luar negeri seperti tak pernah bisa berhenti? Juga kepada Thomdean, kepada Didie SW.
Menjadi kartunis pada akhirnya memang tak
beda menjadi yang lain. Harus masuk ke dalam rimba kompetisi yang luar biasa
keras dan tak terduga. Masing-masing tidak dapat menunggu tips dan trik yang
diberikan oleh Pakarti; mereka harus mencari sendiri bagaimana kiat hidup
sebagai kartunis supaya tetap survive dan
eksis. Apalagi di bursa media, meskipun zaman kini begitu banyak media cetak
diterbitkan, namun ruang atau halaman kartun yang tersedia masih tak beda dari
zaman sebelum reformasi. Itu artinya, para kartunis, juga ditantang untuk
selalu kreatif menyiasati situasi sehingga tidak hanya bertumpu dan bergantung
pada media massa cetak (baca: koran dan majalah). Maka tak sedikit dari mereka
yang kemudian melirik ke buku dan media lainnya. Untuk kasus ini dapat
ditanyakan ke Benny dan Mice yang kini total bersandar hidup
dan beraktualisasi diri lewat kartun. Mereka berdua gencar meluncurkan aneka
“album” buku kartunnya lewat serangkaian tema dan kreasi yang ternyata sangat
direspon masyarakat pembaca.
Pada 23 Mei 2009, dari Salatiga, Jawa
Tengah, sekitar pukul 14.00 WIB, tersiar berita telah terpilihnya kepengurusan
Pakarti untuk periode 2009-2014, yaitu Is
Ariyanto dan Mullie sebagai
Ketua Umum dan Wakil Ketua Umum Pakarti; bagaimana mekanisme pemilihannya
memang tidak relevan untuk diperdebatkan karena situasinya benar-benar darurat;
tetapi, Pakarti di bawah anak-anak muda yang tentu saja penuh dengan energi dan
kesegaran tersebut, diharapkan mereka dapat menata kembali konstruksi
organisasi baik dalam arti fisik/teknis maupun filosofis- ideologis.
Tanpa Pakarti, kartunis Indonesia memang
dapat tumbuh dan berkembang, tetapi dengan adanya Pakarti, seyogianya kartunis
Indonesia makin tumbuh dan berkembang lebih pesat; baik secara personal maupun
kolektif, baik kuantitas maupun kualitasnya; baik keilmuan maupun
kepemilikannya.
Dengan kepemilikan yang memadai diharapkan
kartunis Indonesia kelak juga dapat memberikan kontribusi riil bagi
saudara-saudara lainnya yang masih kekurangan.
Pertanyaannya kemudian, apakah Pakarti
masih dibutuhkan, hei para kartunis Indonesia?
0 Responses to "Apakah Pakarti Masih Dibutuhkan?"
Post a Comment