Muchid Rahmat Berkarya Sambil Menggelitik Rasa
![]() |
Muchid Rachmat |
Darminto M
Sudarmo, Kombat Buku, Jumat, 05
Desember 2008
BERBICARA tentang karya-karya kartun Muchid Rahmat,
lajang kelahiran Kaliwungu, Kendal (Jawa Tengah) 27 Juli 1968 ini, rasanya saya
kekurangan kata, kehabisan ungkapan. Betapa tidak? Lihat saja karya-karya yang
tertayang di samping artikel ini; terlihat sekali keluasan wawasan dan
kemahiran teknis Muchid sangat membanggakan dan kaya panorama.
Selain penghargaan di tingkat internasional dan
nasional yang pernah dia peroleh, ada hal menarik yang tak perlu mempersoalkan
itu semua; yaitu kematangan dalam berkarya. Tawaran-tawaran gagasannya
senantiasa menimbulkan renungan-renungan dan gelitik inspirasi. Salah satu
contoh, kartun berjudul “Hidup Harmonis” (digambarkan sebuah rumah mewah
lengkap dengan kebun indah dan kolam renang yang bertembok lingkar di tengah
lahan yang porak poranda) adalah gambaran sebuah paradoks manusia modern yang
bingung dalam konsep dan tak jelas dalam berorientasi. Sentilan itu mengarah
pada sejumput elit kita yang telah beku nalar dan hati nuraninya.
Pada karya “Infus Moral” kita mendapatkan sebuah ironi
yang hingga kini tak kunjung selesai. Kursi itu adalah gambaran kekuasan dan
manusia yang bakal duduk di atasnya. Mengapa bukan langsung orang yang duduk di
kursi yang perlu dirawat dan diberi infus moral? Karena kursi sebagai simbol
lembaga pun telah menyalahi fungsi dan menjadi preseden dari sebuah
penyimpangan yang mentradisi.
Pada kartun yang menggambarkan seorang petugas yang
tampak sedang mencari penjahat dan menggunakan anjing pelacak sebagai partner
penyidikan, ternyata si anjing beraksi tanpa peduli skenario tuannya; ia justru
menemukan tanda-tanda pada jejak kaki petugas itu sendiri. Ini pesoalan rumit
yang menjadi perbincangan ramai di negeri kita saat sibuk melakukan gerakan
pemberantasan korupsi. Bagaimana masyarakat tidak gemas dan geram jika melihat
fungsi polisi yang seharusnya melindungi masyarakat malah melakukan hal yang
sebaliknya. Begitu juga sebagian jaksa, hakim dan para penegak hukum lainnya.
Bila tatanan dan sistem telah diacak-acak, terutama
oleh para elit yang seharusnya memberikan teladan pada masyarakat; bila hukum
telah dilanggar atas nama kekuasaan; bila masyarakat kehilangan kepercayaan
pada para pemimpin bangsa, maka bangsa ini sudah harus siap-siap menyelematkan
diri masing-masing karena negara telah “tidak berfungsi “ sebagaimana yang
diamanatkan: dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat.
Pengangguran meluas, korban lumpur Lapindo tak kunjung
beres, ekspor produk dalam negeri macet karena negeri pengimpor lagi meriang
dilanda krisis finance dan mungkin juga ekonomi; dollar Amerika Serikat yang
makin mengunyah-kunyah rupiah; sepertinya bangsa ini perlu waspada. Waspada
pula bila para kartunis semakin tak tahan untuk tidak membuat karikatur dan
beropini tentang kondisi negara dan bangsa; maka siap-siaplah kita semua akan
melihat keadaan yang silang sengkarut ini dalam goresan kartunis kritis dan
komedis mereka. Siap-siaplah untuk cemberut atau tersenyum dengan nyali ciut
dan hati kecut.
Tetapi, tidak semua manusia Indonesia bertingkah laku
dan bertindak mencemaskan. Ada satu dua pemimpin bangsa yang waskita terhadap
situasai yang ada. Ibarat sekolam air, sebagai bangsa yang sangat berpengalaman
dalam penderitaan dan berbagai cobaan, kita pasti dapat membedakan kolam yang
keruh dan berbau dengan kolam yang jernih dan mencerahkan. Itulah makna dan
fungsi paling hakiki sebagai rakyat; suka tidak suka, kita harus mau memilih.
Harus menimbang-nimbang pilihan, meskipun kadang yang ada adalah yang tidak
jelek di antara yang jelek. So...apa boleh buat!
Pilkada, pemilu seringkali hilir mudik di sekitar
kerja kita sebagai insan kreatif; tak terkecuali bagi para kartunis; tak
terkecuali bagi Muchid Rahmat. Ujung dari semua keriuhan dan dinamika itu tak
lain tak bukan adalah...ekonomi alias kemulyaan alias penghasilan. Lumayan
kalau untuk kemanfaatan umat manusia lainnya; kalau untuk diri sendiri dan
partai saja, di mana komitmennya kepada rakyat dan umat manusia Indonesia?
Masih mending memeta kerja kartunis; dalam
penghasilannya terdapat formula kerja kerasnya dalam mencari ide, dalam
memvisualkan gagasan dan dalam menawarkan kreativitas; yang bila
direnung-runangkan semua itu berdaya gugah demi cerdasnya pola pikir masyarakat
dan pencerahan bagi situasi yang penuh polusi dan pengingkaran terhadap amanat
penderitaan rakyat.
0 Responses to "Muchid Rahmat Berkarya Sambil Menggelitik Rasa"
Post a Comment