Dari Lomba Kartun Nasional di Semarang

Jitet Koestana
Sikap Ksatria dalam Lomba

Darminto M SudarmoWAWASAN, Sabtu, 27 Desember 1986.

SEBUAH aktivitas positif yang bernama lomba memang tak layak bila dicurigai habis-habisan. Tapi proses “berlangsungnya” lomba itu, sejak awal hingga akhir, bila menghasilkan sesuatu yang kurang “fair” dan kurang profesional (apalagi membawa nama nasional), akan selalu mengundang kegelisahan banyak pihak.
Lomba kartun nasional yang diadakan oleh sebuah harian di Jawa Tengah, PWI Cabang Jateng dan produk jamu tradisional Semarang, tak luput dari itu. Baru saja usai lomba itu dan kemudian dilanjutkan pameran di Balai Wartawan Semarang, kegelisahan yang simpang-siur masih menyelimuti udara yang dihirup para peminat dan (mungkin) para kartunis juga.
Ini baru pertama kali terjadi di Indonesia, kendati negeri ini belum begitu banyak mengadakan kegiatan lomba sejenis. Persoalannya beruntun. Keseluruhannya akan kita bahas bersama di bawah nanti.
Kendati demikian, hendaknya tulisan ini bisa ditangkap sebagai bahan masukan yang berguna bagi pihak yang terlibat dalam keseluruhan kegiatan yang bagus ini. Bagaimanapun kita semua maklum, iktikad penyelenggara tentu sudah berupaya semaksimal mungkin agar bisa mencapai hasil prima dan tanpa cacat cela. Bila di usai lomba lalu terdapat secuil dua cuil “noda”, itu pun kita yakin, bukanlah suatu kesengajaan.

Kartun Milik Siapa?
Sebagai warga dari seni grafis, kartun punya kecenderungan berdaya edar luas. Karena itu, bukanlah mengada-ada bila kita katakan kartun itu milik semua bangsa. Sebab kartun esensinya berkonteks universal. Merupakan bahasa internasional.
Tak terkecuali kartun yang dihasilkan oleh bangsa Indonesia, pasti tak lepas dari “monitoring” para pengamat kartun yang bermukim di negeri asing.
Karena itu berangkat dari kesadaran agar rasa malu tak terus membuntuti, sehubungan dengan kasus pemenang pertama lomba kartun nasional di Semarang (Tony Tantra), penulis telah berusaha mengadakan konfirmasi dan dialog dengan pihak-pihak yang punya kompetensi terhadap pelaksanaan lomba itu. Dalam hal ini sang pemenang sendiri dan para juri.
Banyak masukan yang layak untuk kita perbincangkan sebagai bahan dialog dalam tulisan ini.
Kartun sudah terlanjur jadi milik semua bangsa. Oleh karena itu bila suatu bangsa mengadakan kegiatan agar bisa menjagokan salah seorang kartunis andalan, untuk suatu era, sambil mempertunjukkan karya mascotnya, tentu para peminat, pengamat dari bangsa lain berkeinginan untuk juga bisa melihat dan menikmatinya.
Alangkah bangga kita bila hasil karya kartunis kita bisa jadi bahan dialog dan puji sanjung para pengamat negeri lain, karena kebolehannya dalam memvisualisasikan ide-ide canggihnya. Tetapi bila yang terjadi justru kebalikannya dari itu?
Sungguh suatu kenyataan yang memilukan. Apalagi secara jelas dan otentik, karya sang pemenang yang seharusnya kita andalkan dalam forum internasional maupun terutama nasional itu, ternyata tak lebih dari “memanipulasi ide” kartunis negeri lain.
Cukup dewasakah kita untuk menerima ledekan dan sindiran mereka? Apalagi bila disangkut-pautkan dengan berbagai kegiatan kreatif lain, yang ternyata kreator kita, punya kecenderungan menjiplak.

Kreatif = Orisinal
Sebuah lomba mampu menobatkan seorang jago, tentu jago itu telah melewati sekian tahap uji dan seleksi.
Bila di kemudian hari terdapat persyaratan yang kurang valid dari predikat yang bernama juara, lambat atau cepat, bila sang personal tidak secara ksatria mengundurkan diri, akan juga tergusur oleh “tuntutan genta nurani”-nya sendiri. Sebuah garis bijak yang mewakili suara kebenaran.
Apa esensi yang harus dipenuhi oleh seorang juara? Pertama-tama dia memiliki nilai paling lebih di antara para peserta lain. Nilai di sini tentu saja normatif. Norma-normanya hampir semua orang paham. Bahwa sang juara berhasil menembus sekian seleksi dan ujian yang dipersyaratkan, tentu karena kelebihan-keunggulan karyanya dibandingkan dengan karya peserta lain.
Aspek nonteknis dalam lomba, titik andalannya adalah ide atau gagasan; dan gagasan itu, tentu saja harus orisinal; karena secara umum semua lomba pasti mensyaratkan itu. Nah, bila sebuah ide yang tidak orisinal bisa lolos menjadi juara, tentu ada jalan untuk memperbincangkan dan mencari solusinya.
Kasus tentang juara yang dibatalkan sering kita dengar, bila kita menyadari bahwa juri itu juga manusia dan tak lepas dari silaf; namun di sisi lain, kita juga harus melihat, bahwa para peserta, juga diwajibkan untuk sadar etika atawa tidak melanggar kode etik dasar; karena bila itu dilanggar, dan kebetulan ia menjadi juara, bisa dipastikan akan menuai sejumlah kontroversi dan kegegeran. Dan itu jelas situasi yang sangat tidak diharapkan oleh kita semua.
Bila kita mau menyempatkan diri membuka-buka karya kartun yang diterbitkan secara serius, baik edisi dalam negeri maupun luar negeri, kita akan melihat persoalan yang muncul di sana amat kompleks dan pekat.
Indonesia 1967-1980, karya GM Sudarta; Karikatur-Karikatur 1970-1981, karya Pramono; International Salon of Cartoons (berbagai tahun edisi); Wereldkartoenale Knokke-Heist, Belgie (berbagai tahun edisi); Humour and Satire – The Yomiuri International Cartoon Contest (berbagai tahun edisi); maupun The Best Political Cartoons of the Decade, edited by Jerry Robinson (berbagai tahun edisi); menampilkan hampir seluruh segi dan persoalan kehidupan.
Kita saksikan di sini, bahwa humor bukan hanya klangenan atau obat sebel belaka. Tetapi telah menampilkan peran yang menukik amat dalam, hingga menyentuh persoalan kehidupan yang amat mendasar.
Kembali ke persoalan ide, bagaimana kita bisa menentukan sebuah ide, orisinal atau tidak orisinal. Keseluruhannya bisa dinilai lewat studi banding. Secara kasar, persoalan yang sering terjadi, dalam tingkatan penciptaan karya kartun (universal maupun kontekstual), dapat kita urutkan sebagai berikut:

1). Orisinal murni (dilihat dari aspek “timing”). Hakikatnya, ide itu baru pertama kali dicetuskan oleh sang kartunis, dengan kesadaran penuh belum pernah dan tidak pernah (faktual) dibuat sebelumnya oleh kartunis lain. Setelah dibuktikan lewat studi banding dari literatur kartun yang ada dan lengkap, sambil melihat tahun edisi dan sebagainya, karya itu ternyata tidak ada duanya.

2). Orisinal mirip. Suatu kenyataan yang tak terelakkan, beberapa orang dapat
saja melahirkan ide-ide yang sama karena sebelumnya membaca buku atau memperoleh rangsang-rangsang pengalaman yang sama, kendati secara fisik, mereka berjauhan. Kesamaan di sini, yang dimaksud adalah kesamaan dalam hal esensi ide.

Salah satu contoh, dalam sebuah penerbitan yang berbeda, tapi bisa menampilan ide yang persis atau mirip, sementara si kartunis satu dan yang lainnya tak pernah saling berhubungan. Misalnya yang satu tinggal di Kanada, lainnya tinggal di Jakarta.
Kasus demikian dialami salah seorang kartunis Semarang, yang karyanya sempat bikin heboh di TIM Jakarta, lantaran ide-idenya sangat orisinal dan dalam. Tetapi di luar sepengetahuan sang kartunis, setelah membuka-buka literatur kartun dunia, cingaklah dia.
Karyanya yang berjudul “Evolusi Moral” ternyata, jauh sebelumnya telah pernah dibuat oleh Steve Greenberg dari Daily News, Los Angeles. Visualisasinya mirip sekali. Tapi apakah kasus demikian bisa kita sebut menjiplak? Tidak! Dan ketika membuat sang kartunis benar-benar tidak mengetahui kalau ide demikian pernah dibuat oleh kartunis lain.
Bila kita hubungkan dengan kartun karya Tony Tantra, persoalannya lain lagi. Karya Tony menggambarkan para wartawan tengah membidik obyek berupa gajah-gajah kecil dan gajah besar. Tetapi dasar wartawan/fotografer, yang diburu justru gajah-gajah yang kecil, sama sekali tak melihat gajah yang besar, yang berada di belakangnya. Lokasi penggambarannya di daerah rawa-rawa.
Ada alasan bila kita mengatakan kartun Tony itu memanipulasi ide kartunis lain. Karena kartun karya Takao Yanagi mirip sekali ide dasarnya dengan kartun Tony. Pada kartun Takao Yanagi, obyek bidikan para wartawan/fotografer bukan gajah kecil dan besar, melainkan burung kecil dan burung besar. Lokasinya sama, di daerah rawa-rawa. Hanya komposisi gambar, aksen para wartawan milik Tony dari kiri, sedang milik Takao Yanagi dari kanan.
Secara esensial, strategi Tony yang merekreasi dengan sadar karya Takao (menurut pengakuannya dia memiliki gambar Takao), tak bisa dibenarkan untuk ajang lomba. Jadi jelas, tuntutan untuk menghasilkan karya orisinal tak dipenuhi olehnya.
Lain halnya bila itu merupakan “kebetulan”, persoalannya kemudian tentu bisa ditolerir. Itu pun tentu sulit kita membanggakan karyanya untuk dipamerkan dalam forum internasional. Karena secara “timing” telah “ketinggalan sepur”.
Di samping itu akan semakin kentara kelemahan kita, karena karya Takao ternyata pernah memenangkan hadiah paling bergengsi dalam lomba kartun dunia (Grand Prize) yang diadakan oleh The Yomiuri International Cartoon Contest. (Lihat Humour & Satire – “The Seventh Yomiuri International Cartoon Contest”, hal: 110).

3. Rekreatif. Rekreatif adalah kebalikan dari kreatif. Seorang kartunis yang berkarya dengan pola-pola rekreatif, akan sulit mencapai takaran yang pantas diperhitungkan. Karena dia hanya jadi pengikut, pengulang dan seterusnya. Tak berani menerobos ke pencarian dan penggalian yang lebih kaya. Karena itu karya-karyanya dianggap biasa saja. Kemampuannya tak lebih dari mengembangkan dan mengikuti yang sudah ada.

4. Menjiplak. Tahapan ini adalah tahapan yang sulit untuk “diampuni”. Menjiplak (bukan dalam saat studi) adalah kegiatan yang tercela. Sama dengan mencuri.

Kartunis yang menjiplak, biasanya bukan hanya ide, tetapi sekaligus komposisi obyek, ritme garis dan semua detail yang ada. Lalu dimunculkan dalam medan unjuk kreasi (entah media, pameran, maupun lomba) sambil tak malu mencoretkan tanda tangannya sendiri, sungguh dia perlu dikasihani.
Persoalan yang sedang kita perbincangkan adalah, menjiplak ide atau teknis saja sudah dianggap tidak etis, apalagi keseluruhan.

Sikap profesional
Guna mengatasi kasus pemenang pertama yang kontroversial itu, penulis kemudian mencoba berdialog langsung dengan sang pemenang (Tony Tantra) dan dua orang juri (Dwi Koen dan Pramono).
Menurut Tony, ia merasa sadar apa yang dilakukannya. Dia siap untuk mempertanggungjawabkan dan berkeyakinan, bahwa apa yang dibuatnya (karya kartunnya) adalah berbeda dengan Takao Yanagi. Baginya biar mobil (misalnya) sama-sama VW, bila yang satu bercat biru, satunya bercat merah, tetap beda.
Sementara itu, Dwi Koen mencoba bersikap lebih tegas, walaupun dalam situasi tak formal; ia mengatakan tindakan itu sama sekali tak pantas dilakukan oleh seorang kartunis, karena bisa menggugurkan kejuaraannya. Sementara Pramono merasa “kecolongan”, karena untuk ide demikian dia agak lupa-lupa ingat. Yang jelas dia pernah melihat milik Takao Yanagi atau setidaknya pernah mendengar dari cerita GM Sudarta.
Juri bayangan (Goen, Wang Arif dan beberapa person yang lain) tugasnya tidak menyeleksi awal, melainkan menyeleksi secara teknis atau fisik. Soal format, jenis karya (kartun, vignet atau poster) dan lain-lain.
Itulah, sebuah pengalaman yang pernah terjadi dalam kasus lomba kartun nasional. Kekurangan dan kelebihan bisa saja terjadi, tetapi bila sebuah kompetisi berlangsung secara sehat, adil dan transparan, bukankah kegiatan itu akan terasa indah dan menyenangkan. Mau apa lagi? Memang begitulah yang menjadi harapan kita semua.

deMes

0 Responses to "Dari Lomba Kartun Nasional di Semarang"

Post a Comment