Kartun Indonesia di Tengah Peta Kartun Dunia

Jitet Koestana

Darminto M. SudarmoWAWASAN, Minggu, 25 Oktober 1987.

Barangkali terlampau riskan untuk menyebut kapan seni kartun masuk ke Indonesia. Sementara data yang ada hanya menyebut perkiraan tahun masuknya kartun ke Indonesia berkisar antara 20-an hingga 30-an. Ditandai dengan awal mula pergerakkan nasional lewat pengelompokan politik serta media massa.
Masa sebelum itu, Indonesia memang memiliki tradisi komik (cerita bergambar) atau sastra olok-olok (satire). Tetapi jenis seni kartun sebagaimana yang kita kenal saat  ini belum menunjukkan tanda-tanda hadir sebelum tahun yang disebutkan di atas.
Pada tahun 30-an itulah koran mingguan Fikiran Rakyat mulai menampilkan gambar-gambar sindiran yang dalam masa sekarang corak gambar seperti itu lazim disebut sebagai karikatur (political cartoon).
Tradisi political cartoon di Indonesia barangkali lebih dominan hadir dibanding dengan jenis kartun yang lain. GM Sudarta menyebut, Bapak Karikaturis Indonesia adalah Bung Karno. Ini sangat beralasan. Karena pada masa itu, sejalan dengan semangat kebangsaan, gambar corak karikatur memang efektif untuk membangkitkan semangat rakyat. Kebangkitan nasional!
Lalu pada masa sesudah itu dikenal karikaturis-karikaturis Indonesia yang namanya tetap abadi di kalangan media massa. Seperti misalnya: Sibarani, Harmoko, Sam Suharto dan lain-lain, muncul di tahun limapuluhan. Kemudian pada masa bangkitnya Orde Baru dikenal nama-nama seperti: T. Sutanto, Sanento Yuliman, Hariadi S. Keulman, dan lain-lain.
Periode sesudah itu, kita kenal nama karikaturis yang namanya masih bergaung hingga kini, seperti misalnya: GM Sudarta, Pramono, Dwi Koendoro, Thomas Lionar, Priyanto S, Tony Tantra, Alex Dinuth, Ashady, FX Subroto (Subro), Non-O, dan lain-lain.
Rentetan ini masih bisa berbuntut panjang. Terbukti pada pameran karikatur dalam rangka memeriahkan Hari Pers Nasional di Jakarta, tak kurang dari tigapuluh karikaturis hadir pada peragaan yang mengesankan tersebut. Masing-masing mewakili media massa tempat mereka menumpukan “suara”.
Dari data tersebut, bisa ditarik semacam tesa bahwa antara tahun enampuluhan hingga sekarang (“87) terjadi semacam loncatan kemajuan yang amat pesat. Semacam zaman keemasan, di mana karikatur dan kartun pada umumnya bisa tumbuh dengan subur. Meskipun demikian ada sedikit pemisahan, karena bisa jadi pengertian maju itu berbeda konteks dan makna. Bagaimanapun, karikatur-karikatur yang muncul pada awal Orde Baru memang ditandai dengan masa “pesta-pora”-nya demokrasi dalam seni kartun maupun karikatur.
Arwah Setiawan Ketua Lembaga Humor Indonesi (LHI), menyebut masa itu sebagai masa kebebasn buka mulut. Apakah ini suatu indikasi bahwa masa sekarang periode “keemasan” seperti itu tak memperoleh jaminan lagi. Jawaban untuk ini, dapat kita sitir dari ungkapan GM Sudarta, bahwa strategi yang cukup “andal” untuk menempatkan diri pada masa sekarang adalah dengan prinsip tengang rasa.

Pameran Kartun
Tetapi satu hal pula yang kita tak bisa melupakan, bahwa “buah” popularitas dan publisitas yang besar bagi seni kartun, tak tumbuh secara apa adanya. Ada pihak-pihak yang berjuang untuk mendudukkan jenis seni ini agar bisa memperoleh tempat yang selayaknya bagi para penikmat. Sebagaimana kita tahu, bahwa sebelum kartun masuk Indonesia, kita juga sudah memiliki tradisi menikmati komik atau cerita bergambar. Di dalam dunia humor, tradisi berlucu-lucu dalam bentuk gambar, tentu masih hangat dalam ingatan kita semua; bahwa salah seorang yang namanya cukup kondang pada masa itu adalah Indri S, pelukis komik yang spesifik menggarap dagelan Petruk-Gareng.
Tradisi dagelan dalam kertas ternyata tidak hanya sampai di sini. Seorang humoris yang sangat berbakat, sepulang studi dari Jerman, tiba-tiba bikin kejutan bagi apresian Indonesia. Ia tiada lain selain Jaya Suprana. Orang yang pertama kali mengawali tradisi bahwa media untuk kartun bukan hanya lewat media massa, tetapi juga bisa lewat pameran, kayak seni lukis. Maka ia tampil sebagai orang pertama di Indonesia yang mengadakan pameran kartun pertama kali, dan di Jakarta.
Lalu kebiasaan ini ditiru atau dipacu oleh kartunis majalah remaja yang namanya juga sangat akrab, yakni Sijon. Kemudian menyusul GM Sudarta, Pramono dan Hoesi, serta yang lain-lain. Belum lagi tak terbilang pameran kartun secara gerombolan, baik di Taman Ismail Marzuki (TIM), maupun tempat lain seperti: Wisma Pancasila Semarang, Aula STM Pembangunan dan lain-lain.

Sangat Subur
Kartunis Indonesia, kemudian tumbuh seperti jamur di musim hujan. Tak ada yang sia-sia dari jumlah yang cukup banyak itu. Beberapa di antaranya juga menjadi kartunis serius dan berkarier di bidang tersebut.
Peta kartunis Indonesia dilihat dari kaca mata geografis, maka garis yang bisa ditarik antara lain: dari Medan, Bangka, Jakarta, Sukabumi, Bogor, Tegal, Bandung, Pekalongan, Kendal, Semarang, Solo, Yogyakarta, Surabaya, Bali hingga Makassar. Ini bila dilihat selintas. Namun jangan dilupakan; di tempat-tempat seperti: Purwokerto, Sukorejo, Kebumen, maupun Gombong, ternyata juga tumbuh dan berkembang secara unik.
Di berbagai media seringkali disebut-sebut Kendal (Kaliwungu) dan Semarang sebagai dua titik wilayah yang dihuni oleh kartunis dengan jumlah yang mengesankan. Nyaris seni kartun dalam wilayah ini berkembang tiap RT maupun RW. Dari sebuah kelompok besar kemudian memiliki cabang dan ranting! Barangkali saja kakek William Hogarth, moyang kartun dunia, satiris John Leech, yang punya andil besar pertumbuhan kartun di dunia, bisa sangat terharu dan gembira bila tahu soal ini.

Di Mancanegara
Hanya itu, lalu kartunis Indonesia pantas puas dan berbangga diri? Tentu saja tidak. Pencapaian itu masih dalam tahap kuantitatif. Hanya soal jumlah. Hidup ini perlu target! Begitu pesan penting yang pernah disampaikan Walt Disney, pemuda sederhana yang semula jadi buruh pemasang etiket obat lalu berkembang jadi kartunis jempolan dunia. Karya-karyanya dinilai “abadi” dan menjadi teman bermain anak-anak sedunia.
Apa yang terjadi di luar negeri? Di berbagai negeri tertentu ada sejenis tradisi yang punya kans memacu kreativitas kartunis seluruh. Caranya: mereka menyelenggarakan lomba kartun yang dapat diikuti oleh kartunis dari seluruh dunia.
Di Belgia, ada tradisi lomba atau festival tingkat internasional dengan nama: International Cartoon Festival – Knokke-Heist dan International Humor Festival – Beringen; di Bulgaria, ada International Biennual Gabrovo; di Kanada ada Competition of The International Salon of Political Satire – Havana; di Belanda ada Dutch Cartoon Festival Anstelveen; di Italia ada tak kurang dari empat lembaga sejenis, seperti misalnya: International Festival di Humor in Art Tolento; International Competitiontrento, International Salon of Humor – Bordighera; dan Biennual of Humorous Sports Drawing – Ancona; di Jepang ada Yomiuri International Cartoon Contest – Tokyo; di Turki ada International Simavi Cartoon Competition; di Yugoslavia ada World Cartoon Gallery Skopje dan lain-lain. Selain itu masih ada festival nonkompetitif di Norwegia: Humorbiennale – Fredrikstad.
Di beberapa negara, selain terbit berbagai majalah humor, yang di dalamnya sarat dengan humor-humor dan kartun-kartun yang bermutu, kini juga terbit sebuah majalah yang serius mengupas dan mengolah tentang kartun. Majalah yang terbit tiap musim (tri wulan) ini merupakan salah satu majalah barometer kartun dunia, yakni Witty World. Witty dan World harus ditulis gandeng. Majalah ini serius mengupas masalah kartun dengan cara mengundang opini para pengamat dan para kartunis dari seluruh dunia, dengan pendekatan cukup ilmiah.

Sindikat
Di luar negeri pula, telah tumbuh semacam kesadaran memperlakukan karya kartun secara baik dan benar. Dari aspek seni maupun bisnisnya. Institusi yang mengelola itu dinamakan syndicate. Tugasnya membeli kartun terpilih dengan harga tinggi, kemudian menjualnya ke seluruh dunia sehingga menghasilkan keuntungan cukup memadai bagi sindicate bersangkutan.
 Salah seorang kartunis yang masuk kategori terlaris saat ini adalah Charles M. Schulz; ia masuk dalam deretan kartunis dengan penghasilan megadollar.
Melongok kesibukan para “tengkulak” kartun di mancanegara memang asyik juga, betapa dalam medan bisnis seperti itu berlangsung aktivitas jual beli, beli jual yang pada akhirnya bisa memakmurkan baik sindikasi maupun para kartunisnya. Belum lagi bisnis di bidang by product seperti: penerbitan buku kartun, pembuatan kartun animasi (film), desain untuk tas, kaos, celana dan berbagai permainan anak-anak; termasuk juga Taman Disneyland yang kondang dengan aneka mainan anak-anak. Di Jepang maupun di Amerika Serikat. Semua itu bermula dari spirit satu kata: kartun!
Di Indonesia, yang pertama bisa dilihat, salah satu kemungkinan memasarkan kartun, sementara ini adalah menggantungkan diri pada media massa (koran, majalah). Padahal lahan yang bisa didukung kartun alangkah banyaknya. Seperti: buku, film animasi, iklan, perkakas rumah tangga, permainan anak dan lain-lain. Di Jakarta di Kedai Senyum, Ancol, para kartunis telah bisa menjual jasanya dengan harga memadai;  menggambar wajah pemesan secara kartunal/ karikatural.
Dengan pertimbangan ini, diharapkan festival kartun internasional yang berlangsung di Semarang, bisa menggugah semua pihak, bahwa seni kartun bukan sekadar berlucu-lucu. Ia juga punya guna, baik dalam takaran kesenian maupun nilai fungsional tata sosial sehari-hari; apakah itu di bidang pendidikan, media informasi, maupun arena bisnis secara umum. Kemajuan tak selamanya harus menunggu proses, tapi juga menciptakan kondisi agar proses itu bisa berjalan lebih lancar.

deMes

0 Responses to "Kartun Indonesia di Tengah Peta Kartun Dunia"

Post a Comment