Pengalaman Kocak Jitet Koestana
![]() |
Jitet Koestana |
Darminto M
Sudarmo - Kolom Humor, Friday, February 27, 2009
Tidak
Ada yang Ujug-ujug dan Langsung
Berhasil.
Kepada
penulis, kartunis ini berkisah: Perkenalkan nama
saya Jitet Koestana. Saya lahir di Semarang, Jawa Tengah, 4 Januari
1967. Kata orang sih, nama saya Koestana saja. Tetapi kata saya, ada
tambahannya Jitet. Kalau nama pop artis-artis biasanya serba glamor dan keren,
nama pop saya justru Jitet. Anda tahu apa artinya Jitet? Dalam bahasa Jawa
jitet artinya mlithut. Kalau ada baju atau celana yang lobang atau
sobek, karena tak ada kain lain yang mirip, maka karena tak sabar, biasanya
langsung ambil jarum dan benang untuk dijahit secara militer, eh, paksa, maka
hasilnya baju atau celana itu jadi mlithut karena dijitet.
Beda dengan para artis yang memang dibuatkan nama pop
oleh produser, saya justru memakai nama Jitet memang sejak dari awal berlatih
menggambar kartun. Biar Jitet artinya rada katro seperti di atas, tetapi saya
sangat cocok dengan nama ini. Bahkan mungkin justru dengan nama ini pula Tuhan
memberikan banyak anugerah dan kemudahan bagi saya. Maka saya sangat bersyukur
dengan nama yang sederhana tersebut.
Berbeda dengan banyak kartunis lain, memulai segalanya
dengan bekal pengetahuan yang memadai, saya justru memulai dari keadaan yang
serba kurang. Kurang secara pengetahuan, biaya, apalagi jaringan. Meskipun
demikian saya sama sekali tidak menyesal. Saya bersyukur berlatih menggambar
kartun secara otodidak, menambah pengetahuan secara otodidak, bergaul dan
menempa diri secara otodidak, ternyata Tuhan memberikan jalan yang lapang,
meskipun pada awalnya sangat berat dan banyak sekali tantangannya.
Saya ingat sekali, pada suatu ketika salah seorang senior
saya memberi saran, untuk dapat membedah dan membuka rahasia dunia dan alam
semesta sehingga kita jadi tahu siapa kita dan di mana kita, lalu mau apa kita,
ke mana kita menuju, caranya tidak sulit, cukup dengan membaca buku. Khususnya
buku-buku filsafat. Karena kata para ahli, filsafatlah yang akan membongkar
kontruksi ilmu pengetahuan di dunia secara radikal. Mempertanyakan segala
teka-teki secara menyeluruh dan tanpa ampun.
Buku-buku itu pada akhirnya membuat mata saya terbuka.
Betapa benar ungkapan yang mengatakan buku itu jendela dunia. Senior saya itu
sering mengatakan, apa sih sebenarnya yang dilakukan orang-orang sekolahan?
Mereka disuruh membaca, menghafal atau menganalisa buku-buku yang wajib
dibacanya kemudian meringkas atau menjalani test sampai seberapa jauh mereka
memahami isi yang ada dalam buku itu? Begitulah ritualnya. Dari zaman baheula
sampai sekarang. Tradisi itu tidak pernah berubah. Kalau hanya menjalani itu,
mengapa harus melewati upacara masuk sekolah dulu, sesuai jenjang dan sekian
banyak barikade, sehingga banyak waktu terbuang. Mengapa bila orang sudah dapat
membaca dan menulis tidak boleh memilih sendiri buku-buku yang ingin dibacanya?
Dalam kehidupan sehari-hari, kaitannya dengan tekanan
batas waktu dalam pekerjaan bagi ilustrator atau kartunis yang harus selalu
segar dalam gagasan, buku-buku, apalagi ilmu filsafat yang pernah kita cerna,
kontribusinya sangat besar. Bahan-bahan itu seperti sebuah deposit, seperti
tabungan, ketika kita dalam keadaan terdesak dan membutuhkannya, dengan sangat
refleks mereka datang sendiri memberi bantuan bagi gagasan kita. Seperti
situasi yang ajaib, tetapi sesungguhnya sangat wajar. Dalam hal ini, memang
kita tak mungkin bisa memberi yang kita tidak punya. Begitu pula dengan ide.
Jangan harap kalau kita tidak pernah nabung lalu enak-enak aja narik duit dari
ATM pada saat kehabisan duit padahal saldo kita kosong. Begitulah, kehidupan
ternyata sangat adil dan rasional!
Setiap ditanya bagaimana semua ini bisa terjadi, saya selalu menjawab
dengan bahasa saya, “Tidak ada yang sulapan dan ujug-ujug langsung menjadi
kartunis berhasil. Semua dimulai dari kerja keras dan semangat juang tak kenal
menyerah!”
Begitulah, ternyata omongan saya kamso banget, ya? Tak apa. Mau cerita yang lebih kamso? Saya punya. Ini dia.
Begitulah, ternyata omongan saya kamso banget, ya? Tak apa. Mau cerita yang lebih kamso? Saya punya. Ini dia.
Wah, menyebut-nyebut kata kamso rasanya bikin malu aja. Sepertinya kok saya
sibuk memuji
diri sendiri. Tapi apa boleh buat; nyatanya kamso itu memang indah he
he he. Begini.
Pada tahun yang telah lewat, saya pernah bekerja sebagai pengrajin fibreglass.
Tugas saya membentuk gantungan kunci atau plakat yang sebelumnya masih kasar (ketika dikeluarkan dari cetakan) untuk kemudian
dihaluskan. Memang
untuk dapat mewujudkan itu diperlukan
ketelitian dan ketekunan. Setelah
proses penghalusan selesai, akan diperoleh
sebuah kreasi indah meski hanya sebuah gantungan kunci. Proses penghalusan itu dimulai dari menggerenda,
mengamplas, dan memoles dari sebuah resin cetakan yang tadinya cuma kotak. Pada saat melakukan penggerendaan selalu keluar
debu yang kadang tampak seperti kabut, kalau menempel di
kulit susah sekali menghilangkannya. Ini yang bikin
pusing; padahal sudah mandi dan pakai sabun segala
( seperti orang luluran dengan kapur).
Dari
debu yang menempel di kulit itulah yang sekarang memberi kenangan begitu mendalam bagi saya.
Suatu
hari saya dan teman sekerja hendak makan siang karena perut
sudah tak bisa ditahan lagi. Saya sekadarnya saja membersihkan
debu fiber yang menempel di tubuh. Kami
pun berangkat dan mampir di sebuah rumah yang mirip warung
nasi. Dari dalam rumah muncul seorang wanita yang lalu nyeletuk,
“Wah sanese mawon, Mas.” (Tempat lain aja, Mas) ucapan yang umum digunakan di Semarang untuk
mengusir pengemis.
He
he he.....kami pun maklum karena memang penampilkan
kami yang terlihat kumuh dan berdebu, jadi
wajar kalau dikira pengemis.
Dengan
malu-malu laper kami pun ngeloyor pergi, karena
rumah itu pun ternyata juga bukan rumah makan!
Juga
pernah suatu hari saya sangat mengharapkan kehadiran wesel hasil dari menggambar kartun yang telah dimuat di sebuah media; tapi harapan itu tak terpenuhi, karena
dari pagi hingga sore, tak ada pak pos yang nongol.
Akibatnya, dari pagi hingga sore hari tak
sebatang rokok pun terisap. Karena tak tahan dengan asamnya
mulut, maka saya pun melakukan apa yang paling mungkin saya lakukan. Kebetulan
di rumah ada gitar; kebetulan pula saya
bisa nyanyi walau tak merdu-merdu amat; dan
kebetulannya lagi, saya dianugerahi nyali.
Maka
pada sore itu saya jadi penyanyi. Bukan
jadi bintang Indonesian Idol, atau
artis akademi fantasi, tapi jadi pengamen. Satu
keinginan saya sederhana saja, yaitu sebungkus rokok.
Dengan harapan kuat dan tekat bulat, saya pun nyanyi dari rumah ke rumah. Ada
yang memberi, tapi ada yang tidak. ada yang memberi
sedikit, ada pula yang banyak. Hasilnya?
Tentu saja duit recehan. Tapi
bukan itu saja, yang mengagetkan hasilnya lebih dari
yang saya harapkan. Saya tak
hanya mampu membeli rokok, tapi juga mie rebus dan makanan gorengan.
Masih ada sedikit sisa uang lagi buat
besoknya, ....asyiiik!
1 Response to "Pengalaman Kocak Jitet Koestana"
Post a Comment