Cekakak-cekikik dengan Priyanto Sunarto
Priyanto Sunarto |
Darminto M
Sudarmo - Kartun Indonesia Banget,
Senin, 27 April 2009
Doktor
yang Tidak Bisa Nyuntik
Kartunis
Pri S pasti tidak asing lagi bagi Anda penggemar kartun Indonesia. Kartunis
yang bernama lengkap Priyanto Sunarto,
kelahiran 10 Mei 1947 ini, ternyata bukan hanya kartunis beken (kartunis tetap
Majalah TEMPO); ia juga seorang pengajar di Institut Teknologi Bandung (ITB),
pegrafis yang andal, penulis dan konseptor visual yang membanggakan.
Usai
menyelesaikan S3-nya dengan disertasi “Metafora Visual Kartun Editorial pada
Surat Kabar Jakarta 1950-1957” suami dari seorang istri bernama Euis Sukmadiana
ini, pernah mengalami sakit serius. Orang menyebutnya stroke; tetapi berkat
upaya yang gigih untuk sembuh, sekarang kesehatannya semakin membaik. Dan sang
istri, yang kini selalu mendampingi ke mana pun Pri S melakukan aktivitas,
benar-benar aktif menjaga dan merawat suaminya supaya terhindar dari makanan
atau minuman yang dilarang dokter.
“Yah,
namanya seniman, kadang-kadang muncul bandelnya; suka nekad, terutama kalau Pak
Pri lihat kacang; tak tahan dia untuk tidak mencicipi,” ujar Nyonya Euis lebih
lanjut sambil senyum simpul.
Bagi
penulis, Pri S kini sudah kembali ke posisi semula; artinya, sudah back to basic; yaitu Pri yang suka
bercanda, riang dan tak jemu menebar tawa bila bertemu dengan kawan-kawan
seprofesinya. Para kartunis secara bergurau suka menyebut dirinya “orang gila”,
jadi wajar kalau mereka bertemu, suasana
langsung seru. Sesekali ledek sana, ledek sini, lalu gerrr! Dan itulah dunia
orang-orang kreatif yang otak dan hatinya tak pernah berhenti bekerja
memunculkan gagasan-gagasan segar, baru, dan terutama nakal (tapi genial).
Untuk
lebih jauh mengenal Pri S, penulis berkempatan mewawancarainya secara khusus,
bahkan dari hati ke hati; semoga Anda dapat menikmati dan mengambil manfaat
dari obrolan yang unik ini.
Di antara tiga bidang seni: desain, seni
rupa lukis dan kartun mana yang paling diminati Pak Pri habis-habisan? Mengapa?
Negeri Badutan by Priyanto Sunarto |
Kalau menengok minat di masa remaja
dulu, sebenarnya Anda berkeinginan menjadi apa, kartunis, pakar desain,
pelukis, dosen atau lainnya? Mengapa?
Dari
kecil sih suka gambar, tapi cita-cita jadi supir truk, bisa jalan-jalan kemana
saja yang jauh, bebas... Saat SMA, 1962, gabung dengan sanggar gambarnya Pak
Ooq (Dukut Hendronoto), gaul sama pelukis. Masuk ITB 1965 juga bayangannya jadi
pelukis, tapi dibujuk Mas Tanto masuk Grafis. Sebagai sesama penggemar kartun
saya nurut. Selain belajar seni grafis, studio grafis jaman dulu sih diajarin
desain juga, desain grafis. Saya lulus dengan proyek ilustrasi karya sastra:
Danarto, Sutardji dan George Orwell. Jaman itu sastra dianggap keren,
eksistensialis, kaum absurd.. Begitulah akibat gaul sama sastrawan. Niatnya
setelah lulus ke Jakarta, tempat uang bertebaran bebas. Pak Pirous keburu
menawarkan saya ikut membantu membuka studi desain grafis. Sama suhu tak bisa
nolak, terpakulah saya di kota mojang priangan ini. Tapi tetep aja bolak-balik
jakarta-bandung, train-set (bukan jet-set), sampe sakarang... Jadi kalo ditanya
kenapa jadi begini, tak ada alasan jelas, sekedar terjebak nasib dan mencoba
melakoni dengan baik saja, Oooooooh dasar nasib...
Tahun 1973 Anda lulus dari ITB sebagai
sarjana seni rupa, tetapi dalam CV Anda pada tahun tersebut juga tercatat
sebagai Staf Pengajar di FSRD-ITB untuk program studi Desain Komunikasi Visual,
bagaimana kisahnya ini?
Waktu
1973 semua lulusan disebut sarjana seni rupa saja, embel-embelnya tercatat di
ijasah. Begitu lulus jadi guru bantu FSRD, jadi ngajarnya ngacak apa saja. Tapi
yang terbanyak ngajar di desain grafis. Baru 1983 desain grafis ganti nama jadi
desain komunikasi visual, karena ada materi kuliah televisi dan animasi. Saya
bantu Pak Suyadi (Pak Raden) di kuliah ilustrasi dan animasi. Ya masih primitip
lah animasi celluloid dan kamera 16mm. Tahun 1980 mana ada komputer, semua pake
tangan. Yang sulit ya memotivasi mahasiswa supaya bersemangat gambar sekitar 1000
halaman untuk bikin animasi lima menit. Baru tahun 90an animasi bisa pake
komputer. Sekarang animo animasi dan multimedia makin marak... Meski DKV
berkembang pesat, kuliah kesayangan saya tetep ilustrasi...
Seperti halnya seni-seni lain yang
tipikal, kompleks dan penuh dinamika, di desain tentu ada hal yang memusingkan
tetapi sekaligus mengasyikkan? Begitu juga di seni lukis dan seni kartun?
Ya
sama ya beda, semua mengasyikkan dan memusingkan kalo mau pusing, kalo gak mau
hasilnya rutin aja ya harus siap pusing, mau bikin kartun, gambar bebas,
desain... Bedanya cuma di setting pekerjaan, dan bagaimana meng-explore
imajinasi. Besok 8 november saya diminta jadi moderator diskusi Art vs Design
di Jakarta. Rupanya teman-teman tahu saya ada di dua dunia itu, dan pasti tak
berani memihak ke salah satu kubu. Makanya dipasang di tengah... Sebetulnya
kalo kita serius melakukan sesuatu demi kesenangan diri (bukan orang lain),
beberapa hal pun bisa kita nikmati sama kok, semua sama asiknya. Kita jadi
tertantang karena tiap medium punya ciri, kelebihan dan keterbatasan sendiri.
Lumrah laaa, berkebon juga punya kepusingan dan keasyikan sendiri kan? Coba
tanya Bu Praba...
Orang awam memahami seni dari kategori
sederhana; yakni seni masa lalu, masa kini dan masa mendatang
(eksperimental/kontemporer dll); sebenarnya bagaimana seharusnya memahami
apresiasi tentang seni (khususnya seni rupa secara umum) yang benar menurut Pak
Pri?
Hehehehe,
di seni itu segalanya benar, yang membuat beda cuma ketemu dengan aspirasi
pelihat ato nggak? Membagi seni dari kurun waktu ya bener juga, yang jadul,
yang modern, yang hiper-modern, boleh saja. Memahami seni bisa gampang kok,
buat orang awam ya apa yang menyenangkan hatinya. Yang merasa sudah tidak awam
ya cari kriteria lebih canggih untuk “memahami” seni: kebaruan, kecanggihan,
kefilosofian, keanehan, kegilaan, ke’muri’an.. Makin canggih kepiawaian
kriteria makin butuh pakar, kritikus, kurator dan kalo banyak duit jadi
kolektor (bisnis dan bursa seni). Kadang seni memang buat dikagumi, meski belum
tentu dipahami. Kayaknya semua benar-benar aja deh, memahami juga terserah
masing-masing kan?
Di perguruan tinggi seni rupa, tersedia
jurusan Seni Murni, Desain Komunikasi Visual dan lain-lain, jurusan untuk
Ilustrator (Majalah, koran, buku dll) sepertinya belum ada; mengapa demikian?
Bukankah di masyarakat serapan untuk tenaga ilustrator sangat menjanjikan?
Mungkin
tahun depan IKJ akan buka jalur studi Ilustrasi, cita-cita almarhum S. Prinka
sejak limabelas tahun silam. Yang ragu buka jalur ini justru institusi, takut
gak laku. Masalahnya, mental bangsa kita kan masih feodal. Buktinya semua orang
pingin pake gelar sarjana sampe profesor, beli pun jadi. Ini kan feodalisme
baru. Akibatnya institusi enggan bikin program diploma, sarjana muda gak
keren.. Bidang yang laku dan bergengsi juga dokter, insinyur, ekonomi, hukum.
Seni rupa gak direken. Baru sejal 1990an DKV jadi sekolah idaman remaja. Tapi
ilustrasi tetep bukan pilihan. Pertama, banyak yang masuk DKV gak pinter
gambar. Banyak yang pinter gambar ogah jadi tukang gambar, derajatnya tukang.
Untung anak sekarang lebih jeli liat peluang. Di era komputer sekarang segala
serba canggih tapi generik dan dingin. Orang kangen lagi pada goresan tangan.
Tenaga ilustrator handal jadi nilai tambah di industri komunikasi visual.
Kebetulan banyak alumni IKJ yang jadi ilustrator profesional di ibu kota, dan
mau bantu mengembangkan profesi ilustrator.
Begitu juga melihat perkembangan seni
kartun, sepertinya juga cukup baik prospeknya; mengapa jurusan (khusus) untuk
seni kartun, sepertinya juga belum ada di perguruan tinggi seni di Indonesia;
mengapa demikian?
Ya
sama saja alasannya, ngapain sekolah tinggi-tinggi cuma jadi kartunis. Di
masyarakat kartun dan komik kan masih dianggap buat anak-anak, seni yang tidak
serius. Di tengah pendapat negatif ini, anak sekarang juga lebih condong ke
komik, utamanya manga. Makin aja kartun tersisih. Temen-temen dari Kyoto Seika
punya keluhan sama tentang political cartoon dan single framed cartoon, di
Jepang tak lagi populer. Orang bosan bicara politik, lebih suka yang santai
asik-asik aja. Mereka di jurusan kartun Kyoto bersatu menggalakkan kartun, dan
punya dana untuk itu. Di Indonesia pun minat lulusan seni rupa ke kartun
politik mulai menurun. Kebanyakan memilih jalur kartun lelucon, kartun untuk
branding dan maskot, kartun sosial seperti Benny n Mice, atau jalur komik.
Balik ke pertanyaan, kenapa gak ada sekolah khusus kartun? Ya itulah, kartun
dianggap gak serius, gak gengsi, gak menjamin masa depan... Coba tanya anaknya
Mas Kelik (Pos Kota), maukah jadi kartunis? Anakku sendiri jawabnya “made su”,
masa depan suram...
Kalo
jadi kartunis humor/gag banyak yang minat. Liat aja peningkatan kualitas kartun
di majalah hiburan, pakaian, distro, game, toys, merchandise. Tapi kartun
politik kan langka. Mungkin karena sudah gak jaman politik panglima lagi,
sekarang kan jaman korupsi panglima. Anak sekarang asuhan budaya global, nggak
terlalu peduli politik. Kata ideologi, partai, nasionalisme, sudah kurang
bersinar di kepala anak muda, gak fun katanya. Lagi pula kartun politik lebih
sulit bikinnya, mesti tau konteks politik, membaca baca situasi di belakang
panggung, menakar penangkapan pembaca, mengukur kepekaan situasi, wah pusing
dah... Udah jadi belum tentu diapresiasi. Makanya enakan jadi kartunis
lucu-lucuan aja katanya, asal orang senyum hatinya gembira, sukses.
Mungkin ini agak menyimpang sedikit,
menurut Pak Pri (pribadi), sebenarnya apa saja pertimbangan di tingkat
konseptor kurikulum dan silabus untuk perguruan tinggi seni di Indonesia,
sehingga jurusan-jurusan seperti ilustrasi, kartun dan lawak seperti disebutkan
di atas terkesan dinafikan dan tidak dilirik sama sekali?
Dua
alasan kuat. Satu dah dijawab di atas. Ke dua, guru yang bisa ngajar ilustrasi
yang bagus juga langka kan? Kalo bikin satu jurusan, minimal harus ada lima
yang menguasai bidang itu, berikut praktiknya, bukan teori doang... Yang jago
gambar belum tentu pinter ngajar, juga belum tentu mau ngajar. Ngajar itu
gajinya tau sendiri la, juga kalo muridnya pinter kan nambah pesaing di pasar
(^__^).
Begitu berjubelnya aktivitas Pak Pri di
pekerjaan, keanggotaan profesi, komunitas kartun, keluarga dan lain-lain,
bagaimana kiat Anda membagi waktu sehingga semua bagian kebagian jatah?
Waktu
sih berjalan terus, tinggal pinter-pinter mengisinya. Waktu masih full energy
gak ada masalah, kerja 18 jam sehari oke. Sekarang tenaganya sudah berkurang ya
mesti ngurangin kegiatan, pilih-pilh mana yang paling manfaat buat orang. Sukur
aja masih kepake, masih ada yang butuh juga.
Di antara berderet prestasi di bidang
desain grafis/visual, seni lukis dan seni kartun, bagian-bagian mana saja yang
Anda anggap sangat mewakili totalitas eksistensi Anda?
Aduh
tanyanya sulit amat, mana saya tau saya seperti apa dan bagian mana paling
hebat? Ngaca aja hampir gak pernah, malu liat muka sendiri, peyot... Bener Mas,
saya gak pernah tanya “ lu mau jadi ape?” kalo kebanyakan mikir gituan waktu
habis. Jadi ya tiap hari kerjain aja yang diadepin. Saya ngikutin aja gimana
situasi minta saya berperan apa, jadi tukang kartun, jadi guru, jadi babby
sitter, joker, penggembira, kacung kampret, gimana ramenya aja... Kalo kecapean
ato sakit ya brenti dulu istirahat, gak target-targetan, bisa stressssss...
Sudah sekian lama perjalanan, pencapaian
dan persembahan karya Anda bagi insan persenirupaan Indonesia, masih adakah
obsesi atau cita-cita yang belum terlaksana dan ingin Anda capai?
Entah
ya... yang sampe hari ini belum tercapai ya cuma beresin kamar kerja sama
perpustakaan yang acakadut. Perlu waktu dua minggu diem di rumah khusus
beberes, dan itu gak mungkin. Sebagai cowok panggilan harus siap disuruh apa
aja kemana saja. Obsesi terbesar ya pingin bisa santai ngerjain apa yang
disuka, belum kepikir secara khusus ngapain, Gambar? Musik? Ngoprek? Tiduran di
pinggir sawah sambil makan singkong bakar termasuk kenikmatan juga..
Mungkin Anda ada uneg-uneg tentang apa
saja; apalagi tentang kartun atau kartunis atau pemerintah atau tetangga atau
kawan atau orang di sekitar Anda dan ingin memberi komentar atau guyonan atau
membuat karikaturnya, silakan memanfaatkan ruang yang tersedia ini....domo-domo
arigato!
Gak
ada, semua oke-oke aja, gak oke ya gapapa juga..... makasi juga... berarti
per-topik, sesuai versi atau yang dianggap sreg para kartunisnya, khususnya
kartunis-kartunis senior Indonesia; yaitu: Pramono R. Pramoedjo, GM Sudarta,
Dwi Koendoro, Priyanto S, T. Sutanto dan Jitet Koestana. Kalo tentang Mas Tanto
coba tanya Basnendar (Solo) yang bikin tesis tentang kartun T. Sutanto.
0 Responses to "Cekakak-cekikik dengan Priyanto Sunarto"
Post a Comment