Makhluk Aneh Bernama Dwi Koen
Dwi Koendoro by Djoko Susilo |
Darminto M Sudarmo - Kartun Indonesia Banget, Minggu, 22
Maret 2009
ANDA pasti sudah mengenal kartunis Dwi Koendoro,
bukan? Makhluk yang satu ini benar-benar tiada duanya di dunia. Ibarat tentara,
dia punya banyak senjata. Dari senapan, pistol, belati hingga rantai untuk
menjerat leher musuh. Itu dari senjata jenis ringan. Senjata berat: martir,
meriam bahkan rudal dia punya. Maka untuk “melawan” musuh yang bagaimanapun dia
siap. Dalam bidang seni juga begitu. Bukan hanya mengartun, menggambar
ilustrasi, menulis, mengarang lagu, hingga menyutradarai film; bahkan untuk
main film pun dia siap dan bisa! Pingin mengenal lebih seru tentang dia?
Berikut wawancara khusus antara penulis dan dirinya.
Melihat talenta Anda yang
begitu banyak dan semuanya berjalan seperti yang Anda harapkan (kartun,
ilustrasi, skenario, film, advertensi, animasi bahkan menulis lagu/musik) bisa
Anda deskripsikan seperti apa sebenarnya susunan otak yang Anda miliki?
Sama dengan otak Anda. Otak semua orang. Yang agak
ribet cuma terlalu banyak pintu, banyak lorong banyak kamar bak labirin. Tahun
1993 ada seorang wartawan dari Fukuoka, Jepang mewawancarai saya sebagai
kartunis. Salahnya dia datang di hari Selasa ketika saya lagi ngedit film. Dia
bingung, saya juga bingung. Saya terangkan profesi harian saya selaku orang
film. Jadi sah saya disebut sebagai Praktisi Multimedia. Otak saya? Biasa saja,
kok. Cuma keburu banyak eksalator dan lift yang makin tua makin legreg. Makin
tua kamar kamar itu semakin melompomg dan bulukan. Lorong-lorong makin jarang
saya lalui. Istilahnya sedikit pelupa. Untuk mengingat konfigurasi
lorong-¬lorong itu untung ada komputer yang membantu. Kalau tidak, betapa saya
kesasar di otak sendiri. Tidak deskriptif, kan?
Selain itu, dalam menulis
apakah itu artikel, cerita pendek atau bahkan hanya sekadar memo, kecenderungan
Anda untuk berhumor begitu kuatnya sekuat bahasa fisik Anda di tempat kerumunan
orang ramai; mengapa bisa begitu?
Aneh, ya. Butet Kartaredjasa mengatakan
"Sakenthir kenthire Pailul, Luwih kenthir sing nggawe Pailul". Padahal
kita tahu, Butet lebih kenthir dari saya. Yah, apa boleh bust, marilah kita
memandang dunia ini dengan fenomena kenthir. Kita bukan pelawak, sekadar orang
kenthir. Menurut silsilah, saya keturunan RNG Ronggowarsto ke sekian. Menurut
beberapa orang pula, Beliau itu orang jenius tapi sableng. Besyukurlah kata
Butet, saya kebagian sablengnya.
Panji Koming adalah sebuah
fenomena yang amat khas Dwi Koendoro dan tiada duanya di Indonesia; dapatkah
Anda jelaskan bagaimana ikon itu bisa lahir di negeri yang bernama Indonesia
ini?
Ah masa, sih. Terus terang sejak kecil saya senang
cerita lama.. Saya terpengaruh oleh strip kartun BC (lelucon zaman batu ) karya
Johnny Hart (Alm). Ceritanya terpaksa rada panjang dikit. Waktu bekerja di
Gramedia Film sebagai sutradara film iklan dan dokumenter, editor dan penulis
skenario, menjelang akhir 1979 manajemen memerintahkan saya untuk menjadi
Kepala Bagian Produksi.
Karena merekrut tenaga luar, kalau kerjanya bagus
minus gaji mahal. Bisa dengan gaji murah, tapi kemampuan manajerialnya jongkok.
Bagi saya, jadi Kepala Bagian Produksi , secara karier itu bisa dibilang bagus.
Tapi secara nasib artistikal bisa dibilang nekuk. Setup hari berurusan dengan
kontrak kerja dengan klien. Mengatur jadwal kerja sampai membantu merencana
cashflow dan pekerjaan non-artistik lainnya. Sedih melihat kawan-kawan artistik
yang kreatif tapi kerja manajerialnya acakadut, Tak jarang saya harus
mati-matian memback-up mereka. Maka saya ke harian Kompas yang satu payung
manajemen dengan kantor saya. Untuk usul bikin kartun mingguan.
Saya diterima GM Sudarta (Oom Pasikom) teman satu
tingkat waktu di ASRI ( Akademai Seni Rupa, Jogyakarta dulu, yang lebih dulu
kerja di Kompas sejak 1965. Dan Rustam Affandi Alm) Desk editor Kompas edisi
Minggu.
Saya berikan contoh kartun zaman Majapahit yang saya
kasih nama "Pailul". Nama itu ditolak Rustam dianggap terlalu Jawa..
Dan dia meminta agar kartun saya berbau : "political cartoon". Saya
usulkan nama "KOMING" akronim dari Kompas Minggu. Disetujui. Lalu
saya tambah kata Panji, agar terasa ada "bau" usaha mencari
kebenaran. Maka tgl 14 Oktober 1979 lahirlah Panji Koming. Sekitar 2-3 bulan
kemudian ada klien yang khusus meminta saya menyutradarai filmnya. Sehingga 1
atau 2 minggu, tak ada Panji Koming. Pembaca proses lewat tilpon dan Telex (
belum ada fax atau SMS ). Terpaksalah sejak itu sampai hari ini ( 29 tahun
kemudian ) Panji Koming harus nongol setiap hari Minggu.
Tiga orang yang berjasa "memperkaya"
eksistensi Panji Koming adalah: Pertama, Saini KM, pakar teater dari Bandung,
yang tahun 1984 membuat drama komedi: "Panji Koming". Saini KM
menaruh kisah Panji Koming pada zaman Majapahit setelah "Perang
Paregreg" sekitar tahun 1400 SM. Kedua, istri saya Cik Dewasih yang
menambahkan tokoh Ni Woro Ciblon, untuk membantu mengangkat masalah kewanitaan.
Ketiga, GM Sudarta yang mengusulkan tokoh atagonis Bhre Ariakendor; Yang
keempat.... Sorry ini tambahan ... yakni Dwi Koendoro atau saya sendiri.
Biarin. Yang menambahkan tokoh "Pailul", orang kampung yang
slengekan, ceplas-ceplos sebagai counter
part Panji Koming yang santun.
Pailul ini kemudian amat disayang H Boediardjo (Alm)
Mantan Menteri Penerangan.. Panji Koming dan Pailul penuh tantangan menggelikan
dalam zaman Kalabendhu yang acakadut. Kenapa menggelikan? Ya namanya saja
kartun strip. Bisa senyum geli, senyum kecut, senyum ngu-ngun, senyum prihatin
atau senyum apapun.
Keberanian di massa Orde Baru
dan Orde Reformasi konon berbeda nilainya? Menurut Anda dalam konteks apa saja
dua orde yang beda itu kaitannya dengan proses kreatif penciptaan Panji Koming
yang hadir setiap Minggu di Kompas itu?
Tidak usah saya, anda pun pasti merasakannya. Di zaman
Orde Baru terpaksa slimpetan; zaman Orde Reformasi lebih bebas dan terbuka.
Kita penganut natura artis magistra, proses kreatif kita dibangun oleh miliu,
situasi dan kondisi sekitar kita. Waktu kerja di advertising, saya diminta
untuk: "Do not talk to yourself”.
Perlu diingat sejak kecil saya dididik di kepanduan, salah satunya adalah keja
sistem beregu.
Sadar tak sadar ini pun masuk dalam pekerjaan saya
pada Panji Koming. Waktu zaman Orde Baru tercatat beberapa teman dekat seperti
wartawan foto senior Kartono Ryadi ( Alm ), wartawan-wartawan senior Mamak
Sutamat, Bambang Sp dan banyak lagi yang setiap hari Sabtu saya ajak berembug
untuk melihat "news bargaining position" setiap minggu. Lantas saya
mencoba membuat plot dan simbolisasinya dalam Panji Koming, agar tak terlalu
" telanjang". Ada hal lain yang merangsang saya sejak era Orde Baru,
yaitu kemungkinan untuk menampilkan ujud kartunal pejabat-pejabat kita seperti
kartun Mort Drucker pada komik kartun poltiknya.
Selama Orde Baru tokoh Bhre Ariakendor selalu saya
korbankan sebagai sosok antagon. Tahum 1998 merupakan salah satu tahun
"emas" buat Panji Koming. Wartawan senior Rudy Badil (BD) disertai
wartawan Politik Suryopratomo (TOM ) dan Agus Hermawan (USH) mengajak membuat
kartun tiap hari selama 1,5 bulan selama Pemilu di Kompas. USH menamainya
sebagai KETOPRAKTOON.
Saya didorong untuk lebih bebas dan terbuka. Rasanya
betul-betul seperti orang gila lepas kendali. Diberi kebebasan untuk
berekspresi kartunal. Karena kebebasan saya, wartawan budaya Efix Mulyadi
mengatakan "Dwi Koen muntah". Kebebasan itupun perlahan-lahan mulai
memengaruhi ujud Panji Koming, lebih leluasa menohok sosok-sosok yang layak
" ditohok".
Bahasa analogi (ke zaman
Majapahit) yang Anda pakai sebagai strategi komunikasi Panji Koming tergolong
mulus atau tetap saja menemui kendala ketika harus dihadirkan di koran setiap
minggunya itu?
Secara kultural, siapa sih di negara ini yang tak
kenal Majapahit? Jadi secara umum untuk kaum intelektual (golongan pembaca
Kompas) masih komunikatif. Yang terpenting kita menghayati "credo"
harian Kompas. Mengemban Amanat Hati Nurani Rakyat. Sejauh ini alhamdulillah tak
ada pejabat yang tersinggung. Mungkin karena mereka tak pernah baca Panji
Koming. (Kecuali beberapa pejabat antara lain Wijoyo Nitisastro dan Yuwono
Sudarsono yang terang-terangan menyukai Panji Koming). Zaman Orde Baru sebelum
menggunakan komputer, beberapa kali Panji Koming ditolak Redaksi karena terlalu
berani.. Setelah menggunakan jasa internet, kalau ada yang dianggap
"kritis" perbaikan segera dengan mudah diatasi. Dan itu tak terlalu
sering terjadi karena kemudahan berkomunikasi.
Hal mendasar yang ingin Anda
capai sebagai kartunis/komikus/kritikus situasi lewat Panji Koming itu tentu
menarik disampaikan ke pembaca, termasuk sampai pada titik mana Anda dapat
mencapai "kepuasan" lahir batin dalam berkarya?
Bisa disebut kepuasan kalau pembaca merasa terwakili
nuraninya. Panji Koming sudah menjadi milik pembaca. Banyak pembaca yang
mencintai Pailul, Ni Woro Ciblon, dan lain-lainnya. Bahkan Arthur N Nalan Ketua
ISI Bandung menyukai Bujel dan Trinil kecil.
Anda berpendapat bahwa
pameran kartun via koran sama saja artinya dengan pameran kartun di gedung atau
ruang-ruang pameran; apakah itu berarti bila dikaitkan dengan istilah orang
broadcast Anda menganggap bahwa on (the) air dan off (the) air itu sama saja?
Jangan lupa pameran di gedung kan dilihat pengunjung;
dalam ilmu komunikasi decodernya jelas. Encoder senang kalau dilihat orang
(Decoder). Susah kalau disamakan dengan ujud broadcast yang termasuk "cold
medium".
Sawungkampret, sebuah karya
komik Anda (yang benar-benar komikal) dan merupakan parodi yang berbasis dari
situasi atau zaman penjajahan Belanda di Indonesia (khususnya Batavia), tentu
menantang dalam aspek perburuan data dan literatur; bagaimana awal mulanya
sehingga Anda mempunyai pemikiran ke arah sana?
Jawabannya rada panjang juga. Sawungkampret
sesungguhnya karya yang jauh lebih lama dari Panji Koming. Lahir tahun 1969
pada saat saya kerja di Televisi Exprimentil Surabaya. Kesenangan membuat komik
sejak kecil, merangsang saya melakukannya untuk mengisi waktu. Terpengaruh oleh
kisah " Mahesa Jenar" ciptaan SH Mintardja. Waktu masih kecil di
Bandung saya melihat Sandiwara Sunda yang sangat lucu; salah satu tokohnya
bernama Jaka Aspirin. Terciptalah seorang tokoh jenaka bernama Mahisa Aspirin..
Cerita silat jenaka karena saya tak bisa berkelahi. la bepartner dengan seorang
teman bernama Panji Kemis yang lebih suka dipanggil Ringo.. Yan Mintaraga teman
satu tingkat di ASRI, Jogyakarta, menyemangati saya untuk membuatnya.. Saat itu
( tahun 1969). Yan sudah jadi selebriti komik. Sayang saya masih jadi orang TV.
Dan di waktu senggang saya lebih banyak membuat relief dan patung karena lebih
menghasilkan uang untuk asap dapur.
Waktu saya bekerja di Gramedia Film tahun 1977, saya
ajukan Mahisa Aspirin yang kemudian saya ubah menjadi Mahisa Pailul ke Majalah
HAI; tapi ditolak redaksi karena waktu itu sudah ada Mahisa Rani ciptaan teman
saya Teguh Santosa. Agak heran juga atas penolakan ini, Redaktur Pelaksana
tidak berani menolak langsung tetapi melalui anggota redaksi. Tak apalah,
katanya saya diminta untuk membuat komik cowboy saja. Sulit harus mengubah
pakem, jadi tidak saya teruskan.
Tahun 1988 Sudarmadji Damais, seorang budayawan DKI
mengusulkan untuk membuat komik humor tentang Jan Pieterszoon Coen. Gayung pun
bersambut, jadilah tokoh saya ini hidup di Batavia zaman VOC. Tahun 1990,
Majalah HumOr diluncurkan, saya diminta sebagai Redaktur Khusus.. Dengan
dibantu Arwah Setiawan (Alm) jadilah tokoh saya yang kini bemama Sawungkampret
mulai tampil bersama Na'ip (dulunya Panji Kemis). Seperti juga Panji Koming,
saya selalu minta bantuan teman-teman di HumOr
untuk memperkaya gag atau apapun yang menarik untuk dibaca. Ada Yudhistira ANM
Massardi, Amarzan Lubis, Ridwan Idris dan bahkan anda sendiri, ingat kan?
Bahkan Monsieur Marcel Bonneff, Doktor Perancis untuk
komik Indonesia pun membantu saya untuk perjalanan Marietje dan Ni Woro Sendang
ke Perancis. Dalam usia sepuh beliau pernah berpikir untuk menerjemahkan
Sawungkampret ke bahasa Perancis.
Kisah percintaan pemuda
sodrun Sawungkampret dan gadis Belanda Marietje van Bloemkoel yang romantis
tapi juga kocluk itu sering orang mengait-kaitkannya dengan pemuda penjuang
Untung Suropati dan gadis Belanda yang jadi kekasihnya atau novel "Bende
Mataram" karya Herman Pratikto yang menampilkan tokoh Sangaji cowok pribumi
yang berpacaran dengan Suzanna, gadis Belanda (maaf bila akurasinya kurang
memadai; ini hanya hapalan di luar kepala), tentu Anda punya konsep yang
berbeda bukan?
Tidak persis begitu. Pada kisah awalnya sejak
diciptakan tak ada gambaran perempuan pada Kisah Mahisa Aspirin maupun
Sawungkampret; Marietje lahir karena usulan kenceng dari istri saya Cik Dewasih
yang juga mengusulkan Ni Woro Ciblon di Panji Koming. Jeng Cik juga mepertajam
plot dan romantisme dengan kehadiran Ni Woro Sendang, yang tak lain adik
kandung Sawungkampret.
Sulit sekali pada awalnya, belajar dari teman-teman
jugalah yang kemudian memperlancar romantisme sodrunnya.
Kesibukan Anda belakangan ini
konon banyak monda-mandir antara Indonesia-China dan sebaliknya; tak keberatan
Anda mengisahkannya untuk tambahan wawasan para pembaca?
Terus terang pertanyaan ini bikin saya mengkirig. Saya
sudah diangkat sebagai Advisor dari penerbitan International Journal Of Comic
Art, oleh Prof John A Lent, Editor in Chief di Amerika. Sudah pula diangkat sebagai
anggota Komisi APAACA (The Asian-Pacific Animation and Comic) berkedudukan di
kota GuiYang, China, Yang setiap tahun mengadakan festival komik dan animasi
AYACC (Asian Youth Animation & Comic Contest).
Kenapa saya mengkirig? Karena Perjalanan ke Guiyang
sungguh melelahkan. Jadi stamina saya harus dinaikkan tiap tahun agar tidak
nyonyor. Jadi pesan saya ikuti pula kontes di Guiyang ini, terutama yang gemar
membuat komik dan animasi. Beberapa kartunis Indonesia sudah mulai mengikuti.
Bahan-bahan untuk kartunis muda kelak bisa didapat di website saya "Dwi
Koen's Schetspad". Urusan dengan luar negeri banyak yang bisa kita
perbincangkan, tapi saya percaya kita semua bisa bergerak lebih luas lagi. Di
dalam negeri banyak yang perlu kita kembangkan dan perbaiki.
Mungkin Anda ada uneg-uneg
tentang kartun atau kartunis atau pemerintah atau tetangga atau kawan atau
orang di sekitar Anda dan ingin memberi komentar atau guyonan atau membuat
karikaturnya, silakan memanfaatkan ruang yang tersedia ini .... domo arigato!
Uneg-uneg: Saya
ingat dalam sebuah pertemuan dengan Dawam Rahardjo ahli ekonomi dan sosial
bangsa ini pada tahun 1995, waktu masih Orde Baru. Dia bertanya kepada saya
kenapa negara kita kacau. Saya meggeleng tidak tabu. Akhirnya dia jawab
sendiri. Menurutnya lulusan universitas yang baik di Indonesia, memilih bekerja
di swasta (termasuk di perusahaan Luar Negeri). Yang bodoh (antara lain yang
nyolong skripsi, nyontek dll cara ilegal) jadi Pegawai Negeri. Jadi selama ini
(bahkan sampai Orde Reformasi ) kita dipimpin orang bodoh.
Saya sering sedih memikirkan teman-teman (tidak semua)
pejabat yang bekerja dengan saya. Sering saya kesrimpet birokrasi dan ublekutekusekumek yang membuat pegel. Kartunis Indonesia,
betapapun sekolahnya nggak tinggi amat, punyailah 6 UNSUR PENTING dalam kita
belajar dan bekerja. Lakukan senantiasa OBSERVASI, lakukan senantiasa
ORIENTASI, berusahalah senantiasa MENINGKATKAN MUTU KARYA, selalu berusaha
menyusun MANAJEMEN, Manajemen Waktu dan Mood Kerja. Jangan kalah sama kartunis Jepang
atau negara barat; selalu berusaha nelakukan VERIFIKASI dan yang keenam, selalu
KONSISTEN.
Mau nambah, silakan saja. Nggak pa-pa, kok. Sulit,
memang. Jangan lupa beberapa di antara kita terpaksa melakukan ke 6 Unsur di
atas sebaik-baiknya. Tanya saja sama Kelik Siswoyo yang mesti berkarya di POS
KOTA, GM Sudarta, Pramono, DR Priyanto S. Teman-teman di BOG-BOG, di KOKKANG
dan banyak lagi, terima kasih. Haik, domo
arigato!
0 Responses to "Makhluk Aneh Bernama Dwi Koen"
Post a Comment