Pramono R. Pramoedjo Sedang Mengejar Umur
Darminto M Sudarmo - Kolom Humor, Thursday, December 04,
2008
DI luar urusan kartun dan humor, pria yang
kebapakan dan lahir di Magelang, Jawa Tengah, 5 Desember 1942, ini adalah
benar-benar menjadi “bapak” bagi banyak kartunis muda. Pembawaannya yang kalem
dan banyak senyum membuat banyak kartunis muda merasa nyaman berada di
dekatnya. Bahkan tak jarang ia menjadi tempat curhat bagi mereka. Bukan curhat
sembarang curhat, tetapi sampai pada persoalan yang sangat pribadi; yakni
mengenai urusan rumah tangga atau yang sejenisnya.
Pramono memang berjiwa akomodatif; dengan
telaten dan sabar ia membantu teman-teman mudanya. Ia jarang memberikan nasihat
atau saran secara eksplisit, namun dari ungkapan-ungkapan yang ia sampaikan
menyelinap sebuah pesan penting yang menjadi bahan renungan bagi para kartunis
yang lebih muda.
Ternyata urusan mengakomodasi persoalan
tidak hanya datang dari kalangan lebih muda saja, ia juga dikerubuti berbagai
permintaan “pertolongan” dari kawan-kawan atau koleganya yang kadang terlihat
dari SMS di telepon selulernya yang tak henti berdering.
Ketika hal itu dikonfirmasikan padanya, ia
hanya tersenyum dan mengatakan semua itu dia lakukan dengan senang hati. Sampai
akhirnya, ia tak sadar bahwa waktu telah berlalu begitu cepat. Secepat
kepindahannya dari Jakarta ke Salatiga, Jawa Tengah. Sampai akhirnya ia kaget
setelah menyadari bahwa umurnya telah membentuk angka yang lumayan mantap,
sementara berbagai kewajiban masih menanti sentuhannya. Menanti campur
tangannya.
Sejak pindah dari Jakarta ke Salatiga,
tahun 1995, kesan-kesan penting apa saja yang Anda dapatkan di kota ini, dan
mengapa sudah enak-enak di Jakarta lalu pindah ke Salatiga?
Keputusan untuk pindah dari Jakarta ke kola kecil, Satatiga, bukannya tanpa alasan dan pertimbangan-petimbangan tertentu. Bayangkan, sejak masih lajang, kawin, punya anak, dan kamudian maningkat punya cucu, hampir selama 40 tahun tinggal, hidup dan bekerja di kota besar yang makin lama mekin pengap itu.
Keputusan untuk pindah dari Jakarta ke kola kecil, Satatiga, bukannya tanpa alasan dan pertimbangan-petimbangan tertentu. Bayangkan, sejak masih lajang, kawin, punya anak, dan kamudian maningkat punya cucu, hampir selama 40 tahun tinggal, hidup dan bekerja di kota besar yang makin lama mekin pengap itu.
Aku sudah merasa cukup berjuang untuk hidup
dan mencari arti diri habis-habisan seperti yang kuproklamirkan waktu masih
muda dulu (1966): “Inilah aku! Akan kutaklukkan engkau Jakarta, dengan
kemampuan dan tanganku!”
Empat puluh tahun telah berlalu. Aku tidak
menjadi kaya hidup di kota metropolitan, meskipun demikian, kalaupun ada yang
memandangku kaya, aku memang kaya dengan sahabat dari berbagai macam suku.
Ukuran lain, apa? Rumah? Tabungan? Aku memang ada, sebagai hasil jerih payah
kami. Aku dan isteriku menyisihkan dari yang sedikit, tetapi untuk anak-anakku
kelak. Agar mereka tidak seperti aku dulu (1966), harus berjalan kaki dari
Rawamangun ke Kota pulang-pergi hanya untuk mengambil pesanan gambar ilustrasi
Majalah Mingguan Star Weekly atau Harian Umum Sinar Harapan edisi mingguan yang
honornya tak seberapa banyak.
Umurku sudah kepala enam plus dan kami
bertekad agar anak-anak hidup mandiri dengan kelurganya di rumahnya
masing-masing. Istriku bukan tak sayang, tetapi anak-anak dari anakku, cucuku,
adalah tanggungjawab dari orang tuanya. Karenanya ia menasihati, nenek bukanlah
tempat penitipan cucu. Mereka mau mengerti.
Salatiga memang kota kecil, tapi sejuk.
Konon pada zaman Belanda, kota di bawah bayang Gunung Merbabu ini merupakan
“Puncak”-nya Jawa Tengah. Bila pagi cuaca cerah. Berdiri di bukit Salib Putih
memandang ke arah Rawa Pening, duh teringat ketika aku masih SMP. Naik bus dari
Magelang ke Salatiga hanya untuk melihat kebun binatang di Tamansari. Atau
ketika di SMA, mengantarkan beberapa ratus kartu ucapan yang kugambar sebisanya
pesanan seorang Tionghoa di Jalan Diponegoro.
Kesanku waktu itu, Salatiga kota yang
muram. Jam sepuluh pagi kok mash berkabut. Sebentar lagi gerimis; terkadang,
sampai sore. Aku jajan bakso dengan uang hasil menggambar kartu di pojok
Tamansari mengusir lapar dan dingin sebelum pulang ke Magelang.
Apa
kepindahan itu juga menyangkut konsekuensi sebagai warga masyarakat yang salah
satu kewajibannya di komunitas tempat tinggal harus melaksanakan tugas
siskamling atau jaga malam?
Aku, terutama istriku sadar benar risikonya
apabila benar-benar tinggal di kota kecil setelah sakian lama tinggal di kota
besar. Tetapi kami memang lahir dan dibesarkan di kampung. Tinggal menyesuaikan
perilaku yang sudah telanjur terbentuk sebagai manusia-manusia berkelakuan kota
besar: elu-elu, gue-gue!
Lalu kami lepaskan baju dan atribut kota
besar. Aku ikut ronda malam dan mangambil jimpitan uang receh di tengah malam.
Rapat RT, menengok tetangga yang sedang sakit, atau melayat mereka yang
ditinggal mati keluarganya. lbu-ibu ikutan rapat PKK. Ikut kerja bakti bersama,
yang selama ini ketika hidup di Jakarta cukup menyorongkan uang ribuan ke Pak
RT, dan selebihnya kerja bakti dilakukan orang lain.
"Hidup itu enak, yang membuat susah
itu kan orangnya,” seloroh pelawak Tjokrodjio almarhum, yang ternyata selalu
aku ingat sebagai salah satu pegangan hidup.
Apakah
itu berarti Anda pindah permanen sampai dengan pindah KTP segala?
Kami benar-benar pindah penduduk Salatiga.
KTP-nya ya seumur hidup, wong berumur enam puluh tahun lebih. Untuk melengkapi
diri agar tetap boleh tinggal dan bekerja di kantor Jakarta tanpa takut kena
operasi justisi, dibuatlah kartu lapor diri laksana KTP DKI Jakarta, yang tiap
tahun harus diperpanjang sendiri di Jakarta.
Bagaimana
Anda memulai semua itu, harus menyesuaikan diri di tempat yang sama sekali baru
dan mungkin tidak pernah Anda bayangkan sebelumnya?
(Pramono memiliki tiga putera; dua orang
tinggal di Jakarta bersama istri dan anak-anaknya; sementara seorang tinggal di
Kuta, Bali. Dengan tinggal terpisah di Salatiga, situasi akan menjadi seru,
karena ada banyak alasan untuk acara bepergian).
“Nggak apa-apa, sambil tengok cucu. Zaman
memang sudah berubah. Anak-anak tidak lagi “sowan” ke orang tuanya kalau
kangen, tetapi orang tuanyalah yang dirayu untuk menyambangi mereka dengan
jurus sang cucu sudah kangen.
Lalu
kegiatan Anda sebagai kartunis “Sinar Harapan”, bagaimana Anda memenuhi jadwal
dan dead line dari koran tersebut?
Dan zaman memang sudah berteknologi tinggi,
serba canggih. Pekerjaanku lancar-lancar saja. Kalau pas di luar kota dulu,
mengandalkan pos titipan kilat, atau titip seseorang agar naskah gambar dapat
diterima pada waktunya. Sekarang beres dengan jasa internet , Cuma beberapa
detik sampai di redaksi koran Sinar Harapan, Jakarta, tempat di mana aku
bekerja sebagai karikaturis tetap meski status kontrak.
Selain
itu, tampaknya Anda juga belum atau tidak mungkin dapat lepas dari efek domino
“Kedai Senyum” Ancol sebagai kartunis yang ahli menggambar wajah klien secara
deformatif atau karikatural, apakah hingga kini Anda masih dikejar-kejar para
peminat dan fans fanatik Anda itu? Berapa volume tiap bulannya rata-rata?
Aku memang senang bekerja. Apa saja,
terutama yang bersentuhan dengan seni. Ketika itu (1989) aku berkesempatan
“ngamen” di Pasar Seni Ancol, menggambar wajah kariktural pengunjung. Yang
berminat lumayan banyak. Bahkan termasuk orang-orang asing juga. Naluri
bisnisku kadang menyeruak dalam benakku, dengan berprinsip pesanan harus sebaik
dan sekreatif mungkin, melayani dengan ramah, tepat waktu, dan ongkos gambar
bersaing. Yang penting murah tapi tidak murahan.
Beberapa tahun kemudian aku mengundurkan
diri sebagai “pengamen” di Pasar Seni Ancol, karena alasan kepindahan ke
Salatiga itu (1995). Namun pesanan gambar karikatur itu tetap saja ada. Bahkan
beberapa pesanan terpaksa ditolak dengan berbagai alas an, karena pingin
istirahat. Mati kutulah aku, bila si pemesan entah dari bank atau kedutaan
asing, jauh-jauh datang dari luar kota ke rumahku di Salatiga, langsung memesan
tanpa mau mengerti kerepotanku. Sebenarnya bukan soal berapa uang yang aku
dapatkan, tetapi jujur saja ada kepuasan batin karyaku diterima dan dipercaya
orang. Itu saja…..
Selain
begitu padatnya agenda pribadi, komunitas gereja, jaga malam, menggambar untuk
SH, menggambar karikatur wajah, urusan keluarga, Anda juga menjadi salah
seorang pilar utama Dewan Museum untuk penyiapan dan keberlangsungan Museum
Kartun Indonesia Bali, konsep apa saja yang Anda agendakan agar museum kartun
ini dapat berperan penting dan menjadi prioritas sasaran tengok para pelancong
(domestik maupun asing) yang berkunjung ke Bali?
Repot banget sih, tidak. Artinya tidak
serepot waktu sebelum pensiun dulu. Ada saja yang tiba-tiba ingin kukerjakan.
Bila lagi bosan mencari ide untuk karikatur, biasanya aku pamit istri untuk ke
“kebon”. Maksudnya, ke perkebunan tanaman keras di Salib Putih, sekitar dua
kilometer dari rumahku naik ke arah Kopeng. Biasa, cari kenalan baru yang bisa
diajak ngobrol dan bercanda. Dari mandor kebun, para karyawan, manajer hingga
direkturnya. Beruntung aku kenal baik dengan mereka sekarang ini.
Kalau sudah begitu, tidak sulit mengusulkan
ide-ide yang mungkin bisa mereka manfaatkan; misalnya, ketika Pemda Salatiga
menyelenggarakan pameran potensi industri, perkebunan Salib Putih itu pun mau memakai
desainku untuk diterapkan di stand yang mereka sewa. Lalu agar anak-anak
sekolah Salatiga dan sekitarnya mengenal jenis tanaman keras apa saja yang ada
di perkebunan, diadakanlah lomba menggambar alam dan pelestariannya dengan
hadiah piala Walikota. Tapi Salatiga memang bukan Jakarta. Di Jakarta, belum
mengajukan angka sudah ditanya berapa harga sebuah gambar atau desain. Di
Salatiga, kebanyakan “pitusetengah”, maksudnya pitulungan setengah meksa, alias
gratisan.
Tetapi ada juga yang menyorongkan amplop,
yang isinya tak seberapa. Tetapi entahlah, tiba-tiba aku menjadi tidak banyak
menuntut dalam hidup ini. Harga sebuah persahabatan lebih daripada uang berapa
pun banyaknya, hiburku dalam hati. Gusti ora sare! (Tuhan tidak tidur).
Demikian pula ketika aku harus ikut
mengurusi Museum Kartun Indonesia Bali yang umurnya belum sampai satu tahun
itu, bersama-sama kartunis senior lainnya macam Priyanto S, GM Sudarta, Praba
Pangripta dan Darminto MS. Lalu ditambah Istio Adi yang tidak keberatan kusebut
“gila” karena mencetuskan ide bikin museum kartun dengan uangnya sendiri.
Pokoknya, enjoy saja. Karena aku punya
prinsip seperti yang diajarkan orang tuaku dulu, “Urip kuwi, aja dienggo dhewe.
Eling marang liyan.” (Hidup itu jangan dinikmati sendiri. Ingat sama yang
lain).
Apa yang dapat kupikirkan dan kukerjakan
untuk museum kartun pertama di Asia Tenggara tersebut adalah adonan dari
pengalaman, penglihatan, bacaan, seminar-seminar, olah kreatif, kerjasama,
naluri dagang campur artistik dan ambisi. Untung pikiranku sejalan dengan rekan
yang kusebutkan tadi.
Bikin museum jangan seperti membuat gudang
barang-barang kuno. Dinding bau lumut, sumpek dan singup (menyeramkan). Sudah
begitu penjaganya orang yang sudah tua dan lusuh, yang memberi penjelasan
kepada pengunjung seadanya. Kesan tersebut akan tidak ada di museum kartun itu.
Prinsip-prinsip museumologi dan museumografi harus diterapkan semaksimal
mungkin.
Museum kartun harus menjadi tujuan wisata
pendidikan, terutama bagi generasi muda, karena materi dan karya-karya kartun
yang ada di museum tersebut memiliki nilai sejarah, ikut mewarnai sejarah
perjalanan bangsa Indonesia.
Museum kartun juga harus mampu memberi
hiburan edukatif kepada pengunjung dengan memanfaatkan teknologi tinggi untuk
kreasi dan inovasi yang tidak ada hentinya. Tapi itu semua membutuhkan dana
yang tidak sedikit; padahal sumbernya hanya dari satu kocek. Mana mungkin
terwujud dalam setahun dua tahun ini. Mungkin lima sampai sepuluh tahun lagi.
Sudah begitu dalam keadaan yang apa adanya sekarang ini pun sudah dikunjungi
lembaga-lembaga asing dari Belanda, Australia dan Jepang, dan mereka mengajak
bekerjasama. Syukurlah! Artinya pekerjaan tidak sia-sia, berjalan di jalur yang
benar; selalu ada harapan ke depan.
Pada
tahun 1970-an, wacana tentang seni lukis, masih sama senyapnya dengan persepsi
atau apresiasi orang tentang kartun saat ini (dulu hingga 2008-an), tetapi di
tahun 1985-an ke atas, tanda-tanda booming lukisan mulai tampak; menurut Anda,
mungkinkah di negeri ini akan terjadi booming lukisan kartun/gambar kartun?
Kalau mungkin, strategi dan kiat seperti apa yang harus di-drive supaya terciptanya kondisi ke arah sana dapat tercapai?
(Pramono tidak menjawab langsung pertanyaan
tersebut. Ia tampak berhenti sejenak; berpikir cukup serius. Ia mengambil jarak
dengan tema pertanyaan di atas, lalu mencoba mengarahkan wacana ke kondisi
standar).
Optimisme selalu ada dan berkembang;
apalagi, bila bertemu dengan kelompoknya para kartunis, macam Pakyo, Kokkang,
Karamba, Karaeng dan lain-lain. Bukankah sebagai kartunis, mereka juga
menginginkan suatu kemajuan dalam profesinya, ah, jangan profesi, tetapi
hobinya mengartun kemudian menjadi profesional kartunis.
Karya-karyanya pun punya nilai seni yang
tidak kalah dengan bidang seni lainnya. Siapa yang akan memperjuangkan semua
keinginan itu kalau bukan kartunisnya sendiri? Seorang kartunis berkarier
secara sendiri-sendiri dapat saja, tetapi berkelompok pun lebih baik.
Masalahnya memang terletak pada kemauan keras dan disiplin diri untuk mencapai
masa depan yang lebih baik tersebut.
Jika kemudian direalisasikan sebuah museum
kartun di Indonesia, siapa pun yang membuat adalah suatu berkat bahwa ada
seseorang yang peduli terhadap masa depan kartun dan kartunis Indonesia. Harus
segera dimulai. Dan tidak cukup puas dengan itu, harus dibuat suatu sistem dan
network yang baik agar dapat menampung, mengapresiasikan dan merealisasikan
secepat mungkin cita-cita bersama, mengangkat derajat dan martabat seni kartun
dan kartunis Indonesia.
Ternyata
belum sampai setahun Museum Kartun diluncurkan di Bali (medio Maret 08), konon
di Sleman, Yogyakarta, juga tengah disiapkan sejenis Galeri Lukisan Kartun,
yang menjadi titik poros Yogyakarta – Bali baik untuk base communication/administration maupun untuk segala keperluan
yang bersifat men-drive dan mendorong
meruaknya wacana tentang kartun (lukisan kartun) di negeri ini; apa kiat-kiat
yang tengah disiapkan oleh Dewan Museum agar semuanya dapat berjalan sesuai
rencana?
Pada akhir tahun 2008 ini kemudian
diluncurkan sebuah gedung yang direncanakan untuk cabang, biro, atau galeri
baru kepanjangan tangan dari Museum Kartun Indonesia Bali, di kilometer 14 dari
Yogyakarta arah Magelang, adalah realisasi dari sebagian network yang sudah
didesain sejak semula. Agar para kartunis Jawa Tengah mempunyai “pintu samping”
menuju Bali; dengan demikian mereka merasa memiliki dan menjadi bagian dari
museum kartun yang ada di Bali.
Siapa tahu kelak, bisa jadi galeri baru
tersebut meningkat dan menjadi museum kartun baru: Museum Kartun Indonesia
Yogyakarta. Dan semua itu tidak tergantung semata pada satu dua orang operator,
tetapi merupakan tantangan nyata di depan mata yang harus dihadapi. Sekali lagi
semua tergantung pada kemauan keras dan kerjasama penuh disiplin dari para
kartunisnya; mau maju atau tidak, kita ini?
Mungkin
Anda ada uneg-uneg tentang kartun atau kartunis atau pemerintah atau tetangga
atau kawan atau orang di sekitar Anda dan ingin memberi komentar atau guyonan
atau membuat karikaturnya, silakan memanfaatkan ruang yang tersedia ini....arigato gozaematzu!
Sebagai akhir dari wawancara ini, saya
selalu berpesan kepada rekan-rekan kartunis muda, bahwa jika mereka itu harus
mengejar waktu, maka saya justru sedang mengejar umur!
0 Responses to "Pramono R. Pramoedjo Sedang Mengejar Umur"
Post a Comment